11

255 19 1
                                    

Dinda memilih diam membiarkan sang ibu mertua menceritakan semuanya, kejadian dua tahun lalu, saat keluarga suaminya dan Maria mendesak Davema untuk menikahi Maria. Sebenarnya, ia sudah tidak peduli lagi akan hal ini. Lagi pula, semua sudah terjadi, Davema sudah menikahi Maria.

Dan lagi, hati yang sudah hancur, mana bisa kembali utuh seperti semula. Harusnya mereka semua tahu, wanita mana yang mau berbagi, apalagi ia harus berbagi dengan Maria, teman suaminya sendiri.

"Maafkan anak mama ya, dia sudah banyak membuat kamu terluka."

Dinda tersenyum tipis, "semua sudah berlalu ma," sahutnya pelan.

Ia tidak punya banyak kata-kata untuk merespon semuanya. Kejadian demi kejadian di masa lalu cukup membuatnya menjadi pribadi yang semakin banyak diam dan berusaha menerima dan ikhlas meski itu sakit.

Rianti-Mama Davema mengangguk mengerti, ia tahu bagaimana perasaan menantunya. Tidak mudah menjadi wanita yang dimadu dan harus berbagi. Meski ia tahu, putranya sangat mencintai Dinda, tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Maria juga istri putranya.

"Raja mirip sekali dengan Davema waktu kecil". Ujar Rinti sembari memperhatikan sang cucu yang tengah berada dalam gendongan Davema.

Sekarang, anak itu semakin lengket dengan papanya. Dinda hanya tersenyum tipis sebagai respon dirinya atas pernyataan ibu mertuanya.

Mau bagaimana lagi, Raja memang duplikat Davema. Benar-benar mirip bak pinang dibelah dua.

"Tapi matanya sama seperti kamu, perpaduan yang sempurna, terimakasih sudah menjaga cucu mama dengan baik. Kamu benar-benar  wanita yang hebat."

"Itu sudah tugas saya ma".

Rianti mengelus pundak Dinda penuh sayang, lalu mendekati Davema, menggendong sang cucu untuk bermain di halaman belakang.

Davema mendekati sang istri yang berjalan tertatih-tatih. Dinda memekik kaget saat Dava menggendongnya ala brydal style.

"Maaf sudah bikin kamu susah jalan".

Dinda mendengus, ia benar-benar kesal dengan Davema.

"Tapi saya senang  dan suka melihat tubuh kamu dipenuhi  bekas kepemilikan saya, kamu benar-benar cantik Din, saya suka".

Davema terkekeh geli saat melihat istrinya mencebikkan bibirnya, ia menurunkan Dinda di meja makan.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau mama mau kesini, mas, aku belum mandi, aku bangun siang, dan..."

"Sttt, mama ngerti, beliau nggak akan memaklumi, saya juga sudah bilang sama mama kalau kamu kelelahan, mama pasti tahu, dari cara jalan dan leher kamu yang merah-merah, beliau pasti tahu".

Wajah Dinda memerah, bagaimana ia bisa lupa keluar rumah dengan keadaan kucel seperti ini. Lagi pula, mana ia tahu jika mama mertuanya akan berkunjung.

"Malu" cicit Dinda pelan.

Davema terkekeh geli, ia jadi lupa berapa usia istri kecilnya ini. Pasalnya, Dinda makin kesini makin muda saja, sikapnya semakin menggemaskan.

"Ada saya, kamu aman".

Dinda menatap Davema yang  tersenyum padanya, lalu menyiapkan sarapan untuknya, ergh sepertinya ini bukan sarapan, karena sekarang sudah hampir jam sebelas siang.

Kata-kata itu, selalu Davema ucapkan sedari dulu, dan jujur saja, kenangan demi kenangan kebersamaan mereka kembali menyeruak dalam ingatannya. Perlakuan manis Davema, semua tentang Davema, ia masih mengingatnya dengan baik.

Ia sadar, rasa sayangnya jauh lebih besar dari rasa kecewanya pada suaminya. Tapi, logikanya memintanya untuk lebih relialistis. Tentu ini semua untuk kebaikan dirinya, dan putranya.

"Mau saya suapin?"

Lamunan Dinda buyar, pandangannya beralih pada piring yang sudah berisi nasi dan lauk pauk kesuakaannya. Davema memang selalu mengingat semua tentangnya dengan baik, bahkan hingga saat ini.

"Nggak perlu mas".

Davema tersenyum tipis, "kenapa? Hmm? Dulu kamu sering saya suapin, nggak apa-apa Adinda, sekalipun kamu sudah memiliki putra, bahkan sekalipun usia kamu semakin bertambah, kamu masih bisa manja dengan saya. Dengan senang hati saya akan melakukannya untuk kamu".

Dinda menggeleng, "terimakasih," ujarnya lirih sembari menyantap makanannya. Ia tidak mau bergantung dengan Davema.

Davema sedikit merasa kecewa, tapi tak apa, dengan Dinda berada di sisinya, itu sudah cukup.

"Sara mengundang kita, untuk perayaan hari ulang tahunnya,"

Dinda berhenti menelan makanan di mulutnya, menatap Davema sekilas, "saya nggak bisa datang".

"Kenapa? Kita bisa datang bersama-sama, dengan Raja".

Dinda tersenyum masam, meneguk air di gelas, mendadak selera makannya menjadi hilang. Andai jika pernikahannya dengan Davema tidak dianggap berakhir oleh orang-orang, dengan senang hati ia akan datang bersama-sama dengan Davema.

Tapi, faktanya, yang semua orang tahu, ia hanya mantan istri Davema, ia katakan sekali lagi, m-a-n-t-a-n istri Davema.

"Dan semua orang akan mengira saya perebut suami orang, begitu? Yang mereka semua tahu, saya hanya mantan istri kamu, jadi, semua orang akan menjudge saya, menghakimi saya, dan menganggap saya perebut suami orang. Saya masih waras Davema," ujar Dinda sarkas.

Davema mengepalkan tangannya, menarik nafas dalam-dalam, menghalau rasa sesak dan rasa bersalah yang semakin kesini semakin membuatnya terluka bukan main. Kenapa ia harus berada di posisi ini, dan kenapa orang yang ia cintai harus merasakan rasa sakit karena dirinya.

"Maafkan saya, saya janji Dinda, saya akan memperbaiki semuanya".

Dinda enggan menjawab, ia memilih pergi meninggalkan Davema yang terduduk menunduk menyesali semua yang terjadi.

"Saya akan hadir di acara ulang tahun Sara, seorang diri, tanpa kamu," ujar Dinda sebelum benar-benar pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.






___________________
Jangan lupa vote dan komennya❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang