U

0 0 0
                                    

Sore itu, saat bunga-bunga bersiap untuk layu dan senja warna merah bata siap menjamu. Terdengar kabar lelayu. Hari itu rasanya semu, bahkan dadaku seperti dihantam benda keras nan jeru.

Di depan rumah tua bergaya joglo ini orang-orang sudah bersiap memasang tenda-tenda, di sudut belokan sana bendera merah sudah dipasang, beberapa orang berpakaian gelap berduka berjalan mendekat. Namun, rasa ragu benar-benar masih melekat.

"Mbah sudah pulang," kata Ibu waktu itu.

Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutku. Informasi itu telah membuatku terdiam beberapa saat. Dengan seragam putih abu-abu yang masih tersemat aku sudah tidak kuat, air mataku jatuh sesaat. benar-benar sudah terlambat.

Seminggu yang lalu aku masih melihat ranjang dengan berbagai alat bantu bernapas terpasang ditubuhnya, namu sore ini? Mengapa cepat sekali?

Bapak tidak menangis ditinggal Mbah, Pakdhe juga tidak menangis. Orang dewasa mungkin lebih mahir menyembunyikan itu semua, khususnya laki-laki. Tapi dari sorot matanya aku masih bisa melihat dengan jelas, bagaimana kehilangan itu telah merenggut beberapa harapan.

Bapak sembilan bersaudara, dan bapak yang terakhir, si bungsu yang terlihat tegar. Semalam penuh berjaga, memastikan bahwa mungkin masih berdetak. Sama sepertiku yang sesekali melihatnya, berharap ini semua tidaklah nyata.

"Aku tidak berhasil masuk sekolah impianku Mbah." Kataku lirih.

"Maaf," lanjutku, lalu mundur beberapa langkah. Menunduk. Sunyi, hanya bau bubuk kopi yang ramai di hidungku.

"Bayu kapan datang?" Tanya Budhe Yanti, anak tertua perempuan yang tangguh seperti karang. Ia mencemaskan adiknya jika tidak bisa melihat wajah Bapaknya untuk terakhir kalinya. Bayu anak nomor delapan yang tempat tinggalnya jauh di kota metropolitan.

Kami menunggu Pakdhe Bayu datang. Sebelum Mbah dikuburkan semua anaknya berharap untuk berpamitan.

"Kapan terkahir kamu ketemu Mbah?" Tanya Tania. Kami masih satu keluarga besar. Ia lebih tua tiga tahun dariku.

"Seminggu yang lalu."

"Kasian."

Kasian. Kata-kata itu menyadarkan ku. Aku merasa penyesalan menyusup kedalam hatiku, diam diam mengambil kendali yang ada di otakku. Bodoh, Nan harusnya kamu lebih sering mengunjunginya. Harusnya kamu tuntaskan apa yang ingin dilihatnya.

Mbah tidak suka melihatku menangis, ia sering memberiku makanan yang kini jadi favoritku, yaitu arem-arem Mbah Kakung sering memberiku itu kalau sedang sendirian dirumah. Ia sering menjemput ku dengan sepeda antiknya yang masih kokoh menempuh jarak beberapa kilometer. Harusnya aku lebih bekerja keras lagi, pikirku.

"Jadi anak yang pinter ya, nduk," kata Mbah dengan giginya yang sudah ompong di makan usia.

Aku mengangguk, "iya Mbah."

"Tahun depan mau lanjut dimana?"

"Sekolah impian Kinan Mbah."

Tidak. Aku tidak masuk kesitu. Bahkan belum, aku menangis tiga hari karena dengan nilaiku yang pas-pasan seperti ini, aku tidak bisa meraihnya. Jujur kebanyakan menangis membuatku pusing. Libur sekolah masih panjang, dan Mbah tidak tau kalau aku tidak jadi masuk sekolah yang aku impikan.

Karena pada akhirnya, aku sendirilah yang menyebabkan orang-orang membangun harapan. Mula-mula kecil, lalu jika aku berhasil maka harapan akan bertumbuh, akarnya akan menusuk tanah-tanah dibawah, mengalir lembab, daun-daunnya akan bertambah hijau banyak yang muda, yang tua dan coklat bersiap untuk jatuh. Batangnya besar dan gigih, bersiap bersahabat dengan ranting-ranting, maka tumbuhan itu mulai tumbuh membesar, berbuah manis, dan segar. Besoknya, tumbuhan besar itu jadi sandaran seseorang. Seseorang yang membawa ekspektasi berteduh sepenuh hatinya. Berharap bahwa, ia akan hijau, ia akan menghasilkan O2, ia akan berbuah, ia akan jadi tempat kita berteduh.

Namun, seberapa ketakutannya pohon itu jika besoknya ia tak bisa memenuhinya satu persatu?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 11 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JuniWhere stories live. Discover now