edinburgh

61 7 0
                                    

Senja merayap perlahan di kompleks perumahan itu, matahari yang lelah menyisakan semburat jingga kemerahan yang membelah langit. Udara terasa berat, seolah menyimpan rahasia-rahasia tak terucap. Jae-hyun berjalan gontai menyusuri jalan setapak menuju sungai kecil di belakang rumahnya. Setiap langkahnya terasa berat oleh beban pikiran yang tak kunjung terangkat. Tempat itu selalu menjadi pelariannya saat dunia terasa terlalu mencekik, saat dinding-dinding kamarnya seolah hendak menghimpitnya.

Anehnya, suara asing menyambutnya, memecah keheningan sore yang biasanya hanya diisi oleh gemerisik dedaunan dan kicau burung yang mulai pulang ke sarang. Isak tangis lirih terdengar dari arah sungai, suara yang begitu pilu hingga membuat langkah Jae-hyun terhenti seketika. Jantungnya berdebar kencang, rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur dalam dadanya, menciptakan sensasi aneh yang membuatnya sulit bernapas.

Dengan langkah hati-hati, seolah takut menginjak ranting dan memecah momen rapuh ini, Jae-hyun mendekati sumber suara. Di tepi sungai, di bawah pohon maple tua yang daunnya mulai menguning, ia melihat seorang gadis seusianya duduk memeluk lutut. Bahunya bergetar hebat, wajahnya tersembunyi di balik rambut hitam panjangnya yang terurai berantakan, seolah berusaha menyembunyikan diri dari dunia.

"Hei... kau baik-baik saja?" tanya Jae-hyun ragu-ragu, suaranya nyaris tenggelam oleh gemericik air sungai yang mengalir tenang, kontras dengan gundah gulana yang terpancar dari sosok di hadapannya.
Gadis itu tersentak, mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. Matanya yang sembab, berwarna cokelat gelap seperti biji kastanye, menatap Jae-hyun dengan campuran rasa terkejut dan malu. Ada kilatan aneh di mata itu, sesuatu yang membuat Jae-hyun merasa seolah sedang menatap cermin.

"Maaf... aku tidak bermaksud mengganggu," ujar Jae-hyun cepat-cepat, tangannya bergerak-gerak gelisah di sisi tubuhnya. "Aku hanya... khawatir. Kau terdengar sangat sedih."
Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan, meninggalkan jejak kemerahan di pipinya yang pucat. "Tidak apa-apa," jawabnya dengan suara serak, seolah telah lama tidak digunakan. "Aku Min-ji. Keluargaku baru pindah ke sini minggu lalu."

Jae-hyun mengangguk pelan, otaknya berusaha mencerna informasi ini. "Aku Jae-hyun. Rumahku di ujung jalan sana, yang cat birunya sudah mulai mengelupas."
Keheningan canggung menyelimuti mereka untuk beberapa saat, hanya suara air mengalir dan gemerisik dedaunan yang terdengar. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma rumput basah dan wangi bunga liar yang tumbuh di sepanjang tepi sungai.

"Kau... mau cerita?" tanya Jae-hyun akhirnya, memberanikan diri duduk di samping Min-ji dengan jarak yang cukup untuk tidak membuatnya merasa tidak nyaman. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh gadis itu, kontras dengan dinginnya tanah tempat mereka duduk.
Min-ji menghela napas panjang, suaranya bergetar saat ia berbicara. "Aku hanya... lelah. Dengan semua ini. Pindah rumah, sekolah baru, teman-teman baru. Rasanya seperti harus memulai segalanya dari awal lagi. Seperti... seperti aku kehilangan diriku sendiri di tengah semua perubahan ini."

Namun ada hal yang tidak ia ceritakan. Bayangan malam mengerikan itu masih membayangi Min-ji, bagai hantu yang tak kunjung pergi, membuatnya terbangun bermandikan keringat dingin hampir setiap malam. Peluh yang mengucur bagai air terjun es mengingatkannya akan ketakutan yang membekukan darah.
Ia masih bisa mendengar suara gedoran keras di pintu apartemen kumuh mereka, bagai dentuman genderang perang yang menggema di lorong-lorong gelap ingatannya. Teriakan-teriakan penuh amarah yang memenuhi udara seolah merobek kesunyian malam, bagai pisau tajam yang mengiris ketenangan.

"Min-ji! Cepat kemasi barangmu! Kita harus pergi sekarang!" Suara panik ibunya masih terngiang jelas di telinganya, bagai lonceng kematian yang berdentang tak henti.
Saat itu, dengan tangan gemetar bagai daun kering ditiup angin, Min-ji memasukkan beberapa potong pakaian dan buku-bukunya ke dalam ransel. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, bagai badai yang mengamuk di lautan pikirannya. Namun ketakutan yang terpancar dari mata ibunya, bagai api yang membakar setiap asa, membuatnya urung untuk bertanya.

reverieWhere stories live. Discover now