13 - we bleed the same

435 19 0
                                    

Budi Wardana menikmati makan malam di salah satu meja AMUZ Gourmet, sebuah restoran di Sudirman, seraya menyesap anggur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Budi Wardana menikmati makan malam di salah satu meja AMUZ Gourmet, sebuah restoran di Sudirman, seraya menyesap anggur. Sesuai dengan selera restoran yang ia gemari. Interior kontemporer dirancang oleh Idris Samad, dan terdapat beberapa lukisan dari seniman terkenal salah satunya Affandi. Budi, yang memang memiliki ketertarikan pada seni lukis berkat pengaruh istrinya yang seorang kurator sesekali melirik ke arah dinding tempat karya-karya tersebut dipajang.

Pelayan datang dengan membawa santapan malam itu. Budi memilih Le Gigot d' Agneau. Di depannya, Jiwan, penasehat terpercayanya yang sekarang bekerja untuk Adam, duduk dengan gaya santai—tipikal orang yang telah menghabiskan puluhan tahun berurusan dengan keluarga kaya tanpa kehilangan akal sehatnya, memilih untuk menyantap Wagyu Tenderloin Rossini.

Dalam suasana hangat yang penuh tawa dan canda, Budi dan Jiwan bercengkerama layaknya dua sahabat lama, meski peran mereka lebih mirip mentor dan murid. Bagaimanapun, Jiwan telah menjadi bayang-bayang setia di sisi Budi, menemaninya dalam setiap liku perjalanan karier yang penuh liku. Hanya beberapa minggu yang lalu, mereka menjelajah Tiongkok dengan Budi—sebuah perjalanan yang diwarnai dengan pembicaraan tentang investasi dan sekadar menikmati anggur berkualitas. Setelah itu, Jiwan bahkan masih saja terpaksa menemaninya di ibukota, mengabaikan Adam selama satu bulan penuh.

"Aku sudah lihat perkembangan Adam. Dia makin matang," ucap Budi, senyumnya mengisyaratkan rasa bangga.

Adam adalah anak didik Jiwan, tentu saja ini juga merupakan apresiasi untuknya. "Dia sudah banyak berkembang. Aku lihat, semangat belajarnya tak pernah pudar. Adam juga punya potensi yang luar biasa."

"Tapi dia tetap butuh bimbinganmu, Jiwan."

Jiwan tersenyum, "Setiap generasi memang punya tantangannya sendiri. Tapi aku yakin Adam saat ini dia bisa bawa The Eden ke level yang lebih tinggi."

Budi menatap Jiwan, "Aku mau dia siap menghadapi segala kemungkinan. Di dunia perhotelan, tantangan selalu ada. Kadang aku khawatir, apa dia bisa atasi semua tekanan ini sendirian. Meski anak itu kelihatan percaya diri, aku tau masih ada banyak yang harus dipelajari."

"Setiap pemimpin butuh mentor. Adam beruntung punya kita di sisinya," Jiwan menjelaskan. "Dia tentu perlu bimbingan juga."

"Benar. Aku nggak mau terlalu membebani anakku sendiri, tapi juga nggak akan membiarkannya merasa sendiria," Budi menatap Jiwan dengan harap sebelum menyesap anggurnya kembali.

Jiwan mengangguk.

"Kita pastikan saja bahwa hotel akan dikelola dengan baik. Selain kemampuan teknis, bagiku kan penting juga perasaan cocok. Istilahnya sekarang, yang bisa 'klik' dengan kepentingan dan visi misi perusahaan."

Kekehan pelan kemudian keluar dari Jiwan setelah menyesap teh. "Yang bisa menilai nantinya juga teamnya sendiri dan bos," ungkapnya seraya melirik Budi. "Lagipula Adam bukan golongan GM yang dibenci karyawannya sendiri."

A Sweeter PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang