68. Selalu Bersamamu

288 57 8
                                    

Katherina

Pertunjukan teater bintang pun akhirnya usai. Ditandai dengan matinya layar yang terletak di atas kepala. Disusul lampu-lampu yang menyala hingga ruang pertunjukan kembali terang-benderang.

Namun Jefan bergeming. Tetap duduk seraya menggenggam erat tangannya. Sama sekali tak terlihat niatan untuk menyudahi. Membuatnya berusaha melepaskan diri karena para pengunjung di sekitar mereka telah berdiri dari kursi masing-masing dan mulai mengantre untuk beranjak keluar.

"Kita tunggu dulu," ujar Jefan yang kian mengeratkan genggaman. "Kalau sekarang masih desak-desakan."

Ia pun menurut. Karena memang ruang pertunjukan masih dipadati oleh antrean pengunjung yang hendak keluar.

Selama menunggu, Jefan hanya berdiam diri dengan punggung menyandar ke kursi. Begitu juga dirinya. Dengan tangan tetap saling menggenggam, seolah mereka tengah melakukan percakapan intens dengan tanpa mengatakan sepatah katapun. Ibarat teknik berkomunikasi tingkat tinggi yang hanya melalui sentuhan namun tetap memahami isi pikiran masing-masing.

Dan di tengah suasana hati yang penuh oleh luapan kebahagiaan, sesekali ia membasahi bibir yang terasa panas dan bengkak. Akibat dari perlakuan impulsif Jefan di pertengahan show tadi.

Dan demi mengingat hal tersebut, sontak membuat wajahnya memanas sekaligus memerah karena tersipu malu. Yang benar saja kissing di tengah pertunjukan teater bintang dengan background pemandangan indah alam semesta. Sungguh kenangan yang takkan pernah terlupakan.

"Yuk."

Lamunan buyar ketika Jefan mendadak berdiri. Selayang pandang matanya mendapati ruang pertunjukan telah berangsur sepi. Hanya terdapat satu dua orang yang mungkin seperti mereka, sengaja memilih keluar ruangan di saat terakhir agar tak harus berdesakan dengan pengunjung yang lain.

"Nanti malam jadi kan?" tanya Jefan begitu mereka keluar dari ruang pertunjukan teater bintang. Dan mendapati begitu banyak pamflet berisi pengumuman tentang peneropongan umum gerhana bulan parsial.

Ia hanya mengangkat bahu, "Kalau nggak cape."

"Kemarin semangat," seloroh Jefan. "Kenapa sekarang jadi loyo?"

Ia hanya mencibir, "Nggak tahu nih sampai sekarang kok badan jadi terasa makin pegal ya?"

Namun Jefan tak menanggapi, hanya mengulum senyum sembari meraih pamflet.

"Registrasinya mulai jam 8 malam," gumam Jefan sambil membaca isi pamflet.

"Masih banyak waktu. Siapa tahu kamu berubah pikiran. Jadi semangat lagi ke sini," sambung Jefan tersenyum menatapnya.

"Terus untuk pegal-pegal kamu," Jefan menghentikan kalimat sejenak. "Nanti sampai rumah langsung istirahat biar hilang pegalnya."

Namun ia hanya mengangkat bahu tak peduli. Terus berjalan sembari bergandengan tangan menuju pintu keluar. Menyusuri halaman parkir yang dipenuhi oleh kendaraan.

"Langsung pulang ke rumah?" tanya Jefan begitu melajukan kemudi keluar dari area parkir Planetarium.

Tapi ia menggelengkan kepala seraya menyebut tujuan selanjutnya, yaitu sebuah Mall yang terletak di bilangan Bundaran HI.

"Mau beli mainan?" selidik Jefan dengan nada tak setuju. "Mainan yang kamu bawa udah sebanyak itu. Lebih dari cukup."

"Nggak juga," jawabnya cepat. "Tujuan utama mau ke Grand Hyatt ambil kue pesanan Mama."

"Terus habis itu...," ia mengerling ke arah Jefan yang sedang berkonsentrasi dengan kondisi jalanan yang lumayan padat.

"Baru deh mampir beli mainan," lanjutnya sambil menahan tawa guna menggoda Jefan.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang