71. Pagi di Rumah Mertua

353 63 1
                                    

Karina

Tok! Tok! Tok!

"Na!"

"Nana!"

Sayup-sayup telinganya mendengar suara pintu diketuk dan seseorang memanggil-manggil nama Jefan.

Tok! Tok! Tok!

"Na!"

Itu suara Mamak, batinnya sambil menggeliat. Namun langsung diurungkan begitu tangannya menyentuh kulit wajah seseorang. Terasa sedikit kasar karena belum bercukur. Membuat perutnya langsung bergelenyar-gelenyar demi mengingat hal apa saja yang bisa Jefan lakukan dengan itu. Aduh, Karina.

"Sebentar lagi Shubuh!"

"Jangan sampai lewat shalat fajar!"

Setelah itu langkah Mamak terdengar menjauh. Hanya tersisa suara kipas angin gantung yang tiap menyelesaikan putaran akan mengeluarkan bunyi "kletek-kletek".

"Berisik ya?" seloroh Jefan dini hari tadi ketika ia terbangun karena merasa kehausan.

"Kipas anginnya udah terlalu tua," terang Jefan seraya menyerahkan segelas air putih padanya.

"Ada komponen yang patah di dalam, jadi fungsinya nggak normal lagi."

"Makanya keluar bunyi-bunyi."

Namun ia hanya mengangkat bahu. Karena suara kletek-kletek kipas angin sama sekali tak mengganggu tidur lelapnya selama berada dalam dekapan aroma maskulin Jefan.

Dan selain bunyi kipas angin, telinganya juga menangkap suara kompor yang menyala, bunyi panci mendesis, serta spatula yang beradu dengan penggorengan.

"Selamat pagi, Karina," bisik Jefan dengan suara parau. Hingga hembusan napas hangat terasa meniup-niup puncak kepalanya.

Ia pun tersenyum sambil berusaha bangkit. Namun rengkuhan hangat di pinggangnya lebih kuat untuk menahan. Membuat kepalanya mendongak berniat melancarkan protes pada si pemilik lengan kokoh yang melingkari pinggangnya sedemikian rupa.

Namun sebelum ia berhasil mengucapkan sepatah katapun, Jefan lebih dulu tersenyum simpul, "Mau ke mana?"

Ia mencibir seraya menarik hidung runcing Jefan, "Kamu udah dipanggil sama Mamak tuh!"

"Buruan bangun!" sungutnya berusaha untuk bangkit kembali. Namun masih tetap tertahan oleh lengan kokoh yang kian erat melingkari pinggangnya.

"Jefan i...," protesnya terpotong di udara karena Jefan telah lebih dulu menyentuhnya. Menggoda sedemikian rupa, namun ketika ia mulai terhanyut semua justru berakhir.

"Mau mandi pakai air hangat?" tawar Jefan yang memasang wajah tanpa dosa. Padahal baru saja melambungkannya ke awan, namun sedetik kemudian langsung menghempaskan ke dasar bumi. Telak.

Membuatnya memukul dada Jefan dengan kesal, "Rese ih!"

Jefan terkekeh sembari bangkit. Kemudian merapikan selimut yang tersingkap untuk menutupi kepolosannya.

"Kamu tunggu di sini, aku rebusin air dulu buat mandi," ujar Jefan yang telah beranjak. Membuatnya kembali memejamkan mata untuk melanjutkan tidur.

Namun kedua bola matanya sama sekali tak bisa tertutup. Justru nyalang memandangi langit-langit kamar Jefan. Dimana terdapat kipas angin gantung tepat di tengah-tengahnya. Dengan bentuk eternit yang telah usang dan lapuk karena dimakan usia. Sembari kepalanya mengingat bayangan tentang kejadianmembahagiakan—yang terjadi semalam.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang