79. It's Us, Against The Entire World

260 51 7
                                    

Jefan

"Kamu nggak apa-apa?"

Ia bahkan kehilangan semua pilihan kata dan hanya bisa melontarkan sejenis pertanyaan bodoh. Demi melihat wajah sembab Karina dan tatapan mata kosong yang berhasil mengaduk seluruh emosinya.

Kemudian segera berlutut dan meraih tubuh mungil itu ke dalam rengkuhan. Menenggelamkan wajahnya ke dalam perut buncit Karina hingga telinganya yang menempel di dada bisa mendengar degup jantung yang tengah berkejaran.

"Aku di sini...," gumamnya pelan sembari mengusap punggung yang bergerak naik turun dengan hebatnya akibat isak tangis.

"Aku di sini...," ulangnya lagi seraya mengeratkan rengkuhan.

Kini entah sudah berapa lama ia berlutut sembari mendekap Karina. Berusaha meyakinkan jika mereka akan selalu bersama menghadapi setiap rintangan yang ada. Seberat apapun itu.

Perlahan namun pasti, suara isakan Karina mulai melemah. Dan getaran di bahu mungil itu sedikit berkurang. Membuatnya merenggangkan pelukan untuk kemudian mengulurkan tangan guna menghapus air mata yang masih menganak sungai.

Ia mencoba tersenyum sambil terus menyusut air mata yang membanjiri wajah sehalus pualam itu sembari berkata, "Maaf terlambat."

Tapi Karina justru memberenggut seraya memukuli dadanya berkali-kali. Perilaku khas Karina yang membuat senyumannya kian merekah meski hati terasa begitu pedih.

Sekilas telapak tangannya menyempatkan diri untuk mengusap perut Karina yang membuncit. Meski tak terlalu ketara karena terhalang oleh cardigan warna pink yang memang sengaja dikenakan Karina guna menyamarkan kondisi.

Sebelum akhirnya berdiri dan menarik kursi lain yang berada dalam jangkauan. Mendudukkan diri di sana sembari lengannya meraih kepala Karina yang masih saja terisak ke dalam rengkuhan.

"Kamu bisa nangis sepuasnya," gumamnya pelan seraya mengusap bahu Karina.

"Sampai ngerasa enakan."

"Aku bakalan tetap di sini nemenin kamu."

"Nggak akan kemana-mana."

Namun Karina justru kembali terisak dalam rengkuhannya. Kali ini lebih hebat dibanding yang pertama. Membuat lehernya ikut terasa basah akibat lelehan air mata yang menganak sungai.

Ia bahkan menghitung dalam hati sampai dengan angka ke 127. Tapi tangis Karina tak kunjung reda. Bahkan makin sesenggukan hingga ia harus mendekap bahu yang terus saja naik turun tanpa henti.

Membuatnya kembali bergumam pelan, "Semua akan baik-baik saja, Rin."

"Kamu nggak usah khawatir."

"Kita akan melaluinya sama sama."

Kemudian memberanikan diri untuk mengecup kening yang terasa sedingin es itu. Berharap bisa mengikis sedikit dari sekian banyak kekhawatiran yang sedang melingkupi hati Karina. Berusaha terus meyakinkan jika mereka akan baik-baik saja.

Dan lambat laun intensitas isakan perlahan mulai berkurang. Kemudian berhenti sama sekali. Disusul oleh hembusan napas hangat yang meniup-niup lehernya dengan ritme teratur.

Membuatnya menundukkan kepala untuk memastikan keadaan Karina. Yang berhasil membuatnya tersenyum lega. Demi melihat mulut setengah terbuka yang menjadi penanda jika Karina telah terlelap.

"Semua akan baik-baik saja, Rin," bisiknya pelan seraya kembali mengecup kening sedingin es itu.

***

Karina

Aroma tubuh Jefan entah mengapa selalu berhasil menenangkan dirinya. Keharuman maskulin yang menguar memenuhi rongga hidung tiap kali mereka berdekatan, senantiasa berhasil mengendurkan simpul syaraf yang menegang akibat situasi tak mengenakkan yang dalam beberapa kurun waktu terakhir seringkali menyambanginya.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang