CHAPTER 29

29 6 0
                                    

Revan melangkahkan kakinya memasuki sebuah rumah bergaya klasik. Ruang tamu yang luas tampak sepi, meskipun ada tiga orang yang sedang mengobrol ringan di sana. Namun, Revan tak menghiraukan keberadaan mereka. Suara langkahnya menggema di dinding-dinding rumah yang seolah menyimpan banyak cerita.

Saat melewati mereka, seorang pria paruh baya tersadar akan kehadirannya dan memanggil namanya.

"Revan."

Seolah tuli, Revan tetap melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Baru satu anak tangga ia lewati, pria paruh baya itu kembali menyerukan namanya, suara penuh penekanan. Mau tidak mau, Revan membalikkan tubuhnya, menatap dengan ekspresi datar.

"Kenapa?"

"Dari mana saja kamu? Tiga hari tidak pulang ke rumah," tanya Navvaro, yang merupakan ayah Revan.

Revan bersandar pada railing tangga, bersikap angkuh. "Aku ngilang seminggu juga biasanya Papa enggak peduli. Kenapa baru sekarang Papa nanyain?"

"Karena kamu kabur dari acara pertunanganmu sendiri. Terlebih kamu kabur bersama gadis lain. Di mana sopan santunmu, Revan?"

"Aku nggak pernah setuju sama pertunangan itu. Kalau mau bangun kerja sama, jodohin aja sama Ezra. Dia juga anak Papa kan?" jawab Revan dengan nada menantang, melirik Ezra sekilas sebelum berbalik menaiki tangga menuju kamarnya.

"Ck, anak itu benar-benar," keluh Navvaro, merasa frustrasi dengan sikap Revan yang semakin membangkang setelah kepergian ibunya. Ia merasa seperti kehilangan kendali atas anaknya.

Alice, ibu kandung Ezra, berusaha menenangkan suaminya dengan mengusap tangannya lembut. "Jangan dipaksa jika Revan menolak. Kamu kan sudah janji untuk berbaikan dengan dia."

Setelah Revan kabur dari acara pertunangan, Navvaro memang terlihat marah besar, namun ketegangan itu mulai mereda setelah Alice mengucapkan beberapa patah kata bijak. Navvaro menyadari bahwa ia telah melampaui batas, memaksakan kehendak pada putranya yang tengah berduka.

Ezra hanya mengamati drama singkat yang terjadi di ruang tamu, merasakan ketidaknyamanan yang sama. Ia lantas bangkit dari sofa dan berjalan ke arah pintu keluar, tidak perlu repot-repot berpamitan, karena ia merasa tak jauh berbeda dengan Revan.

Di sisi lain, Revan sudah berada di dalam kamarnya, berdiri tegap di depan sebuah pigura foto yang menampilkan sosok seorang wanita bergaun putih tengah tersenyum lembut. Selama beberapa menit, ia hanya berdiam diri, terbenam dalam kenangan yang tidak ingin dihadapinya.

Kehadiran Alice di sampingnya tak membuatnya bergeming. Wanita itu terus menatap foto tersebut dengan haru, mengenang Janeera, ibu Revan. Tepat pada tanggal ini, enam tahun yang lalu, Janeera dinyatakan meninggal akibat kecelakaan. Sejak saat itu, Revan yang dulunya periang berubah menjadi sosok yang dingin.

"Jangan pernah membenci Papamu, Revan. Di balik sikap kerasnya, dia sebenarnya menyayangimu. Kamu percaya itu, kan?" ujar Alice lembut, berusaha menghibur.

Namun, Revan tetap terdiam, tidak memberikan respon. Alice hanya tersenyum penuh pengertian, kemudian menepuk bahu Revan dua kali sebelum melangkah pergi, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.

Tiga menit kemudian, Revan mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di atas nakas. Dengan pakaian serba hitam, ia keluar dari kamarnya dan melajukan mobilnya, membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan tinggi. Di dalam hati, ada ketidakpastian dan kegelisahan yang bercampur aduk, namun ia bertekad untuk mencari jalan keluar dari semua masalah yang membelenggunya.

✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧



Zeya dan kedua sahabatnya kini menikmati makan siang di kantin sekolah. Sudah lama mereka tidak berkumpul, dan Zeya merasakan kehangatan kebersamaan yang sudah lama dinanti.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang