Bab 1. Senja Di Pelukan Simbah
Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Langit mulai berubah warna, dari biru pucat menjadi semburat jingga, seolah menyatu dengan kepedihan yang tersirat di wajah pemuda yang duduk di teras rumah sederhana itu. Savero Archandra, dengan bahu yang mulai menunduk, menghela napas panjang. Suara napasnya tertahan, seakan setiap hembusan adalah usaha berat untuk mempertahankan diri dari kehancuran.
Di tangannya, sehelai daun kering bergoyang lemah, terangkat oleh jemarinya yang kurus dan sedikit gemetar. Chandra menatap daun itu dengan pandangan kosong, tatapannya menembus jauh ke dalam kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Daun itu, seperti hidupnya, tampak lelah. Terjatuh, tertiup, terbawa arus yang tak pernah bisa ia kendalikan.
"Mama bohong," bisik Chandra pelan, seolah berbicara pada daun yang kini mulai layu di genggamannya. "Mama nggak nepatin janji Mama." Suaranya lemah, hampir tenggelam oleh desiran angin yang semakin kencang. Di balik wajah yang tenang itu, ada ribuan luka yang tak pernah sembuh, ada janji-janji kosong yang terus menghantuinya.
Waktu seakan berhenti saat suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Sosok pria tua dengan wajah penuh keriput dan rambut yang mulai memutih berdiri di belakangnya. Yanuar, atau yang Chandra sebut Simbah, menatap cucunya dengan pandangan penuh kasih yang bercampur dengan kekhawatiran mendalam.
“Ngopi, Ndra, ngopi,” suara Simbah serak namun hangat, mencoba membawa kembali keceriaan yang telah lama hilang dari wajah cucunya. Simbah duduk di sebelah Chandra, lututnya yang lemah berderit seiring gerakannya.
Chandra hanya menoleh sekilas, matanya yang kosong tidak bisa menyembunyikan perasaan yang selama ini ia pendam. Senyum yang ia coba tunjukkan tidak lebih dari upaya sia-sia untuk menutupi kepedihan yang semakin hari semakin menggerogoti jiwanya. Ia menatap kembali ke arah langit, membiarkan keheningan itu merasuk lebih dalam.
“Serius banget, ndelengi opo?” Simbah bertanya, mengalihkan perhatian pada daun kering yang masih digenggam Chandra. Tidak ada jawaban. Hanya embusan napas panjang dan sorot mata yang semakin sayu.
“Daun, Mbah,” jawab Chandra akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Simbah tertawa kecil, mencoba meringankan suasana. “Daun kok diliatin, mending liatin Simbah yang masih kuat ini,” candanya, meskipun di balik tawa itu, Simbah bisa merasakan kesedihan yang mendalam dari cucunya. "Ojo ngelamun ae, Ndra. Dunia iki, nak, ora mung opo sing ono neng pikiranmu."
Chandra tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Janji Mama... Nggak pernah ditepati, Mbah." Suaranya tiba-tiba terdengar getir, pahit, seolah setiap kata yang ia ucapkan membawa beban yang terlalu berat untuk ditanggung.
Simbah menatapnya dengan dalam, menahan napas sejenak. Simbah tahu percakapan ini akan datang, cepat atau lambat, tetapi setiap kali Chandra menyebut nama ibunya, hati Simbah terasa remuk. Simbah mengangkat tangannya, perlahan-lahan menepuk pundak Chandra dengan lembut. "Ndra... kadang hidup ini tidak semudah yang kita kira. Tapi sing penting, awakmu iki dudu wong sing salah."
Chandra menggeleng pelan, masih menunduk, suara hatinya pecah seiring air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kenapa Chandra terus merasa sendiri, Mbah? Apa salah Chandra, lahir di dunia ini? Apa salah Chandra, Mbah?"
Kata-kata itu menusuk langsung ke dalam hati Simbah. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. "Ndra, Simbah ngerti, hatimu sakit. Tapi ingat, tidak ada anak yang dilahirkan hanya untuk dibuat sakit ataupun dibuat menderita. Semua anak lahir membawa berkah. Kamu adalah berkah, Ndra. Jangan pernah ngerasa awakmu salah."
Chandra terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir, perlahan namun pasti, membasahi pipinya yang sudah memucat. Dadanya bergemuruh, seolah ada gunung yang hancur lebur di dalam hatinya. "Tapi Mbah... Kenapa Mama ninggalin Chandra? Apa Chandra nggak cukup baik buat Mama? Kenapa orang-orang selalu bilang Chandra anak buangan?"
Simbah terdiam, hatinya terasa berat mendengar pertanyaan itu. Simbah tahu betapa sakitnya kata-kata itu bagi cucunya, yang setiap hari harus mendengar cibiran dan ejekan dari orang-orang kampung. "Ndra... jangan pernah dengerin omongan orang yang nggak ngerti apa-apa. Mereka ngomong tanpa mengerti caritamu, tanpa ngerti opo sing wes kamu lewati."
Chandra mulai terisak, bahunya berguncang hebat. "Tapi mereka terus ngomong, Mbah. Mereka bilang Chandra anak haram, anak buangan. Semua orang di kampung ini gak ada yang mau temenan sama Chandra. Semua karena Chandra gak punya orang tua yang bisa dibanggain."
Simbah merasa air matanya mulai mengalir. Tidak bisa menahan rasa sakit yang juga ia rasakan melihat cucunya menderita begitu hebat. Dengan tangan yang mulai bergetar, Simbah mengangkat dagu Chandra, menatap dalam ke mata cucunya yang sembab. "Dengar, Ndra. Wong sing paling kuat iku dudu wong sing ora nangis. Wong sing paling kuat iku wong sing wani ngadhepi rasa lara. Nangislah, Ndra. Nangis ora tau ndadekno awakmu lemah. Nangis iku caramu mbebaske ati sing wes kelaran." Simbah tersenyum. “Inget Ndra, koe ora dewekan, simbah ning kene kanggo koe.” Simbah menatap daun yang masih melekat pada jemari Chandra. “Ndra,,, Kamu juga punya hak untuk bahagia dan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Hidup ini terlalu luas, Ndra, untuk kamu cari kebahagiaan itu. Kamu gak perlu terburu-buru. Setiap orang punya jalannya sendiri buat menemukan kebahagiaannya."
Chandra menatap wajah menenangkan Simbah dengan rasa lelah. “Tapi Mbah, Chandra capek... Semuanya terasa sangat menyakitkan”
Simbah tersenyum tipis dan mengusap air mata Chandra dengan perlahan, seolah berusaha menghapus sedikit rasa sakit yang dialami cucunya. "Ndra, lelah itu manusiawi. Tidak apa-apa istirahat sebentar, tapi setelah itu, jangan lupa untuk kembali bangkit. Dunia ini bukan hanya tentang rasa sakit, Le. Kamu berhak bahagia, dan kamu yang harus menemukan kebahagiaanmu sendiri. Kadang, kebahagiaan nggak datang dengan sendirinya, kamu yang harus mencarinya."
"Tapi, apa Chandra bener-bener bisa menemukan kebahagiaan itu, Mbah?"
"Pasti bisa, Ndra. Semua ada waktunya. Yang penting, jangan menyerah. Simbah percaya, kamu anak yang kuat."
Chandra, yang selama ini menahan segalanya, akhirnya runtuh. Tangisnya pecah, tak lagi bisa ia bendung. Chandra memeluk Simbah begitu erat, membiarkan air mata dan isakan mengalir tanpa henti. Hatinya yang terluka, yang penuh sesak dengan rasa sakit dan kehilangan, kini mengalir keluar dalam bentuk tangis yang selama ini ia tahan. Pelukan Simbah adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa aman, meskipun rasa sakit itu tidak pernah benar-benar hilang.
Di bawah langit yang semakin gelap, di antara suara angin yang kian kencang, tangis Chandra memenuhi udara sore yang tenang itu. Simbah hanya bisa memeluk cucunya erat, membiarkan tangisnya mereda dengan perlahan. Hari itu, di teras rumah sederhana, di bawah langit yang penuh dengan warna senja, Chandra melepaskan beban yang selama ini menghancurkannya. Dan Simbah, dengan air mata yang mengalir, hanya bisa berharap bahwa beban itu sedikit demi sedikit bisa hilang, meskipun ia tahu, luka di hati cucunya mungkin akan selalu ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Tawa || Savero Archandra
Randombook baru. Savero Archandra version tulis ulang