Berulang kali Jeongwoo menghela napasnya. Ada sesak di dada yang enggan pergi meskipun beberapa saat telah berlalu sejak dia menyimpan kembali surat itu ke dalam kotak, bersama dengan buku tabungan berisi uang sekian puluh juta won yang tak begitu diperhatikannya. Suster Shin menolak untuk diamanahi memegang benda itu jadi Jeongwoo terpaksa membawanya pulang ke Seoul malam nanti.
Jeongwoo telah berdamai dengan hidupnya yang malang. Dia tak pernah mempertanyakan siapa orang tua kandungnya, kenapa dia ditinggalkan di panti dan pertanyaan lain yang seringkali mengudara di langit-langit panti seperti yang kerap penghuninya tanyakan.
Tepat ketika dirinya sudah dapat mengurus dirinya sendiri dan menjadi mandiri, Jeongwoo lebih senang menjalani hari-harinya sebagai anak panti yang memiliki banyak saudara dibandingkan berkecimpung di pemikiran tentang keluarganya. Sederhananya, jika keluarganya menitipkan dia ke panti berarti dia tidak diinginkan, maka untuk apa pula mencari tau sesuatu yang akan menyakiti hatinya.
Dia adalah anak yang menerima takdirnya dengan lapang dada. Dia sudah cukup bersyukur diurus dengan baik oleh Suster Shin dan para pengurus panti. Tak ada alasan baginya untuk bersedih. Namun, menerima kabar tentang masa lalu yang tak terduga tetap saja mengganggunya.
Selesai berbincang dengan Suster Shin, Jeongwoo kembali ke kamar yang ditumpanginya selama berada di panti. Dia telah membaringkan tubuhnya dengan sebelah tangan menutupi mata. Banyak hal bergejolak hatinya, sebentuk perasaan tak nyaman dan rasa penasaran dengan beribu pertanyaan. Dia menghela napasnya kasar.
"Jeongwoo?" Seseorang memanggil namanya bersamaan dengan suara ketukan pintu. Dengan lunglai Jeongwoo menghampiri.
Sesosok laki-laki berumur hampir 50 tahunan tersenyum lebar begitu pintu terbuka sempurna.
"Paman Oh." Kehadiran orang itu cukup memberbaiki suasana hatinya. Jeongwoo memberikan pelukan singkat yang disambut hangat.
"Wah, kau bertambah besar, Nak. Hidupmu senang selama di Seoul?"
Jeongwoo tergelak. "Aku hidup dengan baik di sana. Paman apa kabar?"
"Seperti yang kau lihat." Paman Oh menggerakkan pundaknya. "Mau menemaniku merapikan taman?"
Tawaran Paman Oh itu diambil Jeongwoo. Dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya. Atau mungkin nanti Jeongwoo bisa bertukar pikiran dengan laki-laki itu tentang keresahannya.
Keduanya kemudian berjalan beriringan ke gudang untuk mengambil beberapa peralatan sebelum menuju taman. Paman Oh banyak bercerita tentang kegiatannya sehari-hari, begitu juga Jeongwoo. Bahkan mereka sempat membahas tentang Jaehyuk karena Jeongwoo tidak sengaja menyebutkan nama laki-laki itu.
Obrolan berlanjut secara natural sampai ke pembahasan mengenai kotak yang diberikan Suster Shin kepadanya tadi dan fakta mengenai latar belakang keluarganya. Jeongwoo dan Paman Oh sudah berhenti merapikan taman—yang nyatanya hanya akal-akalan Paman Oh saja untuk membuat Jeongwoo meluapkan perasaannya. Mereka duduk bersisian di susunan bata di pinggiran taman.
Suster Shin sudah lebih dulu memberitahunya tentang Jeongwoo yang telah menerima informasi mengejutkan itu. Wanita itu khawatir karena Jeongwoo tak menunjukkan ekspresi apapun. Lebih baik dirinya menangis meraung dan mengumpat ketimbang menatap tanpa emosi kotak di tangannya. Untuk itulah dia mendatangi laki-laki itu dan mengajaknya keluar. Mereka bercengkerama secara normal sebelum Paman Oh melancarkan taktiknya untuk membuat Jeongwoo bercerita, dan itu berhasil.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Jeongwoo tercekat.
"Kau sekarang mungkin masih terlalu terkejut dengan apa yang baru saja kau dapatkan, itulah kenapa kau jadi tidak bisa berpikir jernih." Paman Oh menerawang ke langit yany cerah, lalu menoleh kepada Jeongwoo. "Kalau orang tua ini boleh memberi saran, Jeongwoo, coba kau renungkan terlebih dulu. Tanyakan pada hatimu apa yang ingin kau lakukan atas informasi baru itu. Bagaimana kau ingin menyikapinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lucky Find | a Jeongjae Fanfic
FanfictionGlad it's you out of that fucking 8 billion people bxb fiction! not relate to face claim real life mature