Karina
Ia pikir dengan masuk ke kamar membanting pintu, Jefan akan mengejarnya. Mengetuk dengan membabi buta, memanggil-manggil namanya, lalu memohon-mohon agar diperkenankan masuk ke dalam kamar untuk memberi penjelasan lengkap tentang training 5 hari padanya.
Tapi, terkadang kenyataan tak seindah harapan. Karena tak ada seorangpun yang mengetuk pintu kamar. Apalagi memanggil-manggil namanya. Suasana hening bahkan langsung mengungkung.
1 menit, 15 menit, 30 menit. Setelah time out yang ditentukan oleh dirinya sendiri habis. Ia pun mulai diliputi rasa jengah, bosan, dan pastinya bertambah marah.
Well the hell done, Jefan! makinya kesal.
Eh, tapi, tunggu sebentar!
Ini seperti dejavu bukan sih?!
Ia seperti pernah berada di situasi yang sama. Meski dalam keadaan yang jauh berbeda.
Ya, tentu saja. Kini ia mulai bisa mengingat, tentang kejadian yang pernah dialaminya hampir 7 bulan silam.
Ketika ia mengancam untuk pergi sendiri tanpa ditemani oleh Jefan yang menawarkan tumpangan untuk mengantarkannya pulang ke rumah. Lebih memilih menembus rintik-rintik hujan di kegelapan malam usai mereka berdua keluar dari Retrouvailles.
"Ya udah kalau lo nggak mau ngantar, gue bisa pergi sendiri!" ujarnya sengit lalu melangkah lebar-lebar menembus rintik sisa hujan.
Dan Jefan sama sekali tak memanggil namanya. Apalagi mengejar langkahnya. In your dreams!
Dan sekarang, terjadi lagi?
Bagus! Kini ia tahu, telah menikahi jenis makhluk seperti apa!
Pastinya less emphaty!
Sialan!
Ini jelas tak bisa dibiarkan! Jefan harus tahu bagaimana cara paling tepat untuk men treat dirinya ketika sedang dilanda emosi.
Harus didekati, di sayang-sayang, atau kata Teh Dara sering bilang ketika ia ngambek pada Mas Sada saat keinginannya tak terpenuhi, "Kamu mah mesti di olo (dibujuk)."
Bukannya dicuekin dan main tinggal pergi begitu saja!
Dasar Najefan nggak peka!
Membuatnya dengan gusar segera membuka pintu kamar. Kemudian melangkah ke luar. Namun sosok yang dicari tak ditemukannya juga.
"Jefan mana, Bi?" ia terpaksa bertanya pada Bi Enok yang sedang membersihkan ruang tengah.
"Barusan pergi ke luar, Neng," jawab Bi Enok.
"Keluar kemana?"
"Nggak tahu, Neng," Bi Enok mengangkat bahu tak mengerti.
Ia pun segera melangkah keluar. Mencari-cari sosok Jefan diantara rerimbunan tanaman di halaman samping. Tempat dimana Jefan biasa menghabiskan waktu jika sedang d rumah.
"Mang Jaja, lihat Jefan nggak?"
Dan jawaban Mang Jaja sontak membuat emosinya makin memuncak.
"Barusan keluar pakai motor, Neng. Katanya mau ambil barang yang ketinggalan di rumah."
Jefan pulang ke rumah tanpa mengajaknya, bahkan tak berpamitan padanya? Double the hell done, Jefan!
Jadi ketika satu jam kemudian, Jefan meneleponnya hanya untuk bertanya, "Rin, mau titip baso Mas Warno nggak?"
Ia tak mau menjawab. Dan lebih memilih untuk mematikan sambungan telepon.
Bahkan ketika Jefan kembali meneleponnya berkali-kali. Ia selalu menolak, menolak, dan menolak panggilan! Tak ada kesempatan untuk Jefan. Karena ia benar-benar marah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.