Aku menatap nanar di arah jam 12 tersebut, seorang pemuda tampak lusuh dengan pakaian yang tidak beraturan.
"Ayah..." ujarku sedikit menghela napas. Ayahku berdeham dan menatapku.
"Mengapa pemuda itu selalu tampak lusuh?" Aku menunjuk dengan mulutku di jembatan itu.
Ayahku menyeritkan dahinya. Dia tampak bingung dengan hal yang terjadi.
"Nak, kurasa kamu harus mendengar kisah tentang pemuda itu."
--
Sebut saja namanya, Johan. Pemuda dengan badan yang gagah berani dan menjadi idaman para perempuan di Desa Melati. Dirinya menjadi pemuda yang lembut dan tidak kasar dengan wanita manapun di desanya. Tidak hanya itu, Johan juga aktif terlibat dalam kegiatan desa. Termasuk pembangunan dari Jembatan Delima yang menghubungkan Desa Melati dan Desa Dendeng.
"Johan, kita membutuhkan tumbal untuk pembangunan jembatan ini." Ketua desa berbisik kepada Johan.
"Pak, apakah bisa kita tidak menggunakan tumbal?" Johan kembali berbisik. Dia sendiri nampak tak kuasa harus menumbalkan hewan kembali.
"Pancang ini sulit berdiri. Tampaknya memang penghuni sini membutuhkan hal tersebut."
"Sebaiknya kita bicarakan dengan tukang sipil saja bagaimana, Pak?" Saran dari Johan ternyata diterima baik oleh ketua desa.
Dilihatnya para kuli dan tukang bangunan itu sedang bekerja, maka Johan sendirilah yang menghampiri Pak Sed, Sipil Bangunan yang ditunjuk untuk membangun jembatan di desa ini. Pak Sed sendiri adalah lulusan teknik sipil yang dipercaya oleh kedua kelompok penduduk desa bisa menyelesaikan keluh kesah desa mengenai bangunan atau sarana dan prasarana desa.
"Permisi Pak Sed, anu pak, pancang yang kita taruh di lokasi dekat air tersebut sulit berdiri. Bapak punya saran, kah?" Pak Sed tersenyum dan mendatangi tempat yang dimaksud oleh Johan. Sambil melihat dan terjun langsung ke air tersebut, Pak Sed tiba-tiba menjadi pucat pasi.
"Pak, bisakah kita berbicara berdua atau bertiga saja?" Melihat Pak Johan yang tiba-tiba seperti itu membuat Johan dan Ketua Desa langsung mengangguk. Mereka mengangkat Pak Sed dari air tersebut dan membawanya ke sudut warung kopi yang tidak jauh dari tempat mereka membangun jembatan.
Semua pekerjaan dihentikan terlebih dahulu dan para pekerja semuanya pulang lebih awal, kecuali Johan dan Pak Ketua Desa.
"Apa ada rumor atau mitos yang dipercaya desa ini?" Pak Sed menatap mereka dengan penuh harap.
Melihat satupun tidak berbicara, lantas Pak Sed menyimpulkan sendiri, bahwa memang ada rumor atau mitos yang beredar di desa ini.
"Anu Pak, ada mitos soal tangan air. Hantu tangan air atau yang bisa disebut Gemerincing." Johan bersuara dan membuat Pak Sed cukup terkejut.
"Hantu Gemerincing?"
"Enggeh Pak. Hantu itu suka sekali dengan kaki manusia atau hewan yang masuk ke lubang-lubang air yang dalam. Dia teh aduh, sempat bikin heboh 1 kampung Melati ini." Kepala Desa menambahkan kembali.
"Heboh?"
"Enggeh Pak. Pernah ada korbannya dan kakinya hilang 1, Pak. Untung... baru korban hewan, Pak." Kepala Desa menunduk setelah memberitahukan kabar itu.
Pak Sed cukup terkejut, karena sudah sampai memakan korban. Pasalnya saat dia masuk ke air tersebut, memang berasa ada yang memegang kakinya sangat kuat.
"Baiklah, saya akan berbicara dahulu dengan teman saya yang orang pintar. 2 hari lagi project ini kita mulai kembali." Tutup Pak Sed dan membuat keduanya mengangguk setuju.
Keesokkan harinya, Pak Sed dan temannya Fajar mendatangi lokasi tersebut. Fajar mencoba masuk ke genangan air tersebut. Tiba-tiba, Fajar tersenyum dan menutup matanya. Pak Sed yang melihat hal tersebut hanya bisa menggigit jarinya gelisah.
"Fajar, sudah belum, nak?" Pak Sed semakin gelisah, karena sudah 1 jam lamanya Fajar di dalam genangan tersebut.
"Namanya sopo toh, Pak?" Fajar berbicara dengan lembut.
"Gemerincing, orang desa sebutnya."
"Oh alah, Gemerincing." Fajar kembali naik ke darat setelah mendengar perkataan Pak Sed.
"Jadi, bagaimana?"
"Sabar toh Pak. Saya mau komunikasi dulu. Tadi dia tidak berani memegang kaki saya, ada jimat katanya."
"Baiklah."
Fajar kembali bersemedi untuk berkomunikasi dengan Gemerincing. Namun, yang dia rasakan justru seakan tubuhnya melayang.
"Gemerincing, air hujan.... Gemerincing." Fajar masih mencoba berkomunikasi. Sekali lagi, panggilan Fajar tidak disahut.
"Fajar, mengapa kamu memanggil "air hujan" juga?" Pak Sed bertanya dengan penasaran.
"Dia suka dengan air hujan, Pak. Namun, akhir-akhir ini hujan terlalu sering. Jadi dia cukup sensitif dengan hal itu."
"Lalu?"
"Namanya Gadis. Dia sempat diperkosa di sini. Sebelum tempat ini banjir besar, di sini ada sebuah taman dan Gadis sering bermain di sini." Fajar membuka matanya. Terlihat bahwa warna matanya berubah menjadi biru terang.
"Gadis bermain dan bergembira, sebelum dia datang dan membekap mulutku." Pak Sed mulai sadar, ini bukan Fajar, tetapi Gadis tersebut.
"Dia menyiksaku sampai aku kelelahan. Menikmati tubuhku tanpa ampun. Aku sudah memohon agar melepaskan aku, tetapi aku tetap dinikmatinya."
Gadis tersebut menatap Pak Sed dan tersenyum seram.
"Dia memotong tanganku. Mengubur tubuhku di sana." Danau kecil yang tidak jauh dari genangan air tersebut membuat Pak Sed terdiam merinding.
"Tanganku di buang di bawah tanah sini." Gadis sekali lagi mengeram dan membuat Pak Sed memercikan air suci ke arah Fajar yang kerasukan itu. Setelah Fajar sadar, Pak Sed terdiam cukup lama.
"Pak Sed, sepertinya dendam dari dia cukup besar. Gemerincing atau Gadis cukup membuat warga ketakutan bila jembatan ini dibangun." Fajar menunduk dan memberikan secarik kertas tertutup.
"Namun, jika bapak bersikeras menyelesaikan jembatan ini, maka saya hanya bisa bantu dengan bubuk ini. Pasang bubuk ini bersamaan dengan pancang yang akan dibangun di sini. Ini hanya bertahan, jika setiap saat diberikan persembahan, berupa kembang tujuh rupa, bunga kemangi, 1 ayam utuh dengan bulu-bulunya, dan air wewangian bunga kenanga." Fajar berdiri dari tempatnya dan berjalan dengan pincang.
Dengan segera Pak Sed menemui kepala desa dan Johan. Dia memberitahukan semua yang dijelaskan oleh Fajar. Ketua Desa menyanggupi hal tersebut dan dengan segera melakukan pembangunan.
Pembangunan jembatan tersebut selesai. Tidak lupa, Fajar dan Kepala Desa melakukan persembahan. Tahun demi tahun, persembahan itu masih dilakukan. Namun saat tahun ke-10, ritual tersebut mulai dilupakan. Tidak ada lagi persembahan yang diberikan, bahkan tidak ada lagi yang melewati jembatan itu lagi.
Karena itulah, penduduk desa jadi dihantui oleh Gemerincing. Setiap kali melewati depan jembatan itu, pastilah ada korban yang menanti, entah itu 1 atau 2 orang akan kerasukan dan tenggelam di danau tersebut.
Orang-orang yang tidak mendengar gemerincing, maka dia yang akan menjadi target dari si hantu. Termasuk pria yang saat itu sedang patah hati, yaitu Johan.
--
"Begitulah ceritanya, Nak. Orang yang kamu lihat di sana adalah arwah dari Johan. Dia menjadi tumbal terakhir sebelum semua penduduk pergi dari desa ini." Ayahku menatapku dengan senyum di wajahnya.
"Lalu, kenapa ayah menceritakan hal ini?" Sang anak menatapnya dengan bingung.
Tiba-tiba, mata sang ayah berubah menjadi warna biru dan menarik anaknya serta dirinya melompat ke danau itu.
"Karena kita adalah tumbal berikutnya."
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Jembatan [SELESAI]
Terror"Haruskah dengan tumbal dalam pembangunan jembatan di desa ini?" Seorang ayah dan anak menghampiri desa yang dikenal dengan Desa Melati. Desa ini sudah ditinggalkan cukup lama dan membuahkan rumor yang cukup mengenaskan. Ayah dengan anak tersebut ha...