Chapter 21

59 4 0
                                    

Ini hari ke delapan, dimana rindu terkurung dalam sepinya kesendirian.

Seorang diri menguatkan, berlomba hanya untuk menunjukkan bahwa tak apa ditinggalkan. Tak apa meski sakit karena waktu pasti akan menyembuhkan.

Namun menunggu sembuh nyatanya harus sekarat dulu. Tapi sisi lainnya kembali mengingatkan; bahwa tak apa sakit, tak apa terluka. Karena iapun dulu juga pernah mengalami hal yang serupa.

Jadi sekarang ini adalah fase kedua, dan sialnya jauh lebih menyakitkan dari fase pertama. Jerome merasa sedang menghadapi kematiannya.

Jovanka membuatnya berdiri diatas duri. Perlu menyingkirkannnya agar setiap pijakan yang ia ambil tidak sampai membuat kakinya yang  tanpa alas tertusuk ujung runcingnya. Dan salah bila menebak setelah kejadian ini Jerome akan mundur, sebab dimasa lalu ketika ia pernah melepaskan nyatanya kesakitannya berlipat ganda. Jadi kali ini Jerome memilih bertahan bersama kesakitannya.

Jerome juga tak lagi diam menunggu, karena ia adalah sosok dominannya, yang akan menjadi pengontrol dalam hubungan ini. Ialah yang akan menentukan harus seperti apa akhir dari kisah percintaannya.

Dan yah, untuk kedua kalinya. Yang Jerome kira Jovanka hanya sebuah kebutuhan. Ternyata gadis itu lebih dari itu. Ia butuh, bukan hanya karena kegilaan yang menginginkannya, namun karena juga mencintainya.

Amat sangat mencintainya. Karena setiap kali mengingatnya Jerome rasanya perlu menyakiti tubuhnya agar tetap waras. Sama seperti halnya sekarang, dimana ponsel yang ia genggam sampai terdengar bunyi retakannya.

"Selamat, Tuan. Semoga Royal Plaza bisa selesai tepat waktunya." Jerome menerima ucapan selamat itu dengan wajah datar sekaku batu es. Ia baru saja memotong pita untuk peresmian mega proyek barunya disaksikan kilatan blizt kamera dari penjuru dunia.

Kabar tentang Royal Plaza yang akan dibangun diatas seluas hektaran tanah dengan 20 lantai itu meroket cepat.

Peletakan batu pertama sudah dilakukan, dan rencana berikutnya adalah meratakan bangunan karena seperti yang diketahui bahwa lahan yang ada adalah rumah rumah yang dijual kepada mereka.

Tapi tak ada yang dapat dibanggakan dari keberhasilannya kali ini, karena Jerome tahu ia sedang mempertaruhkan hal yang besar.
"Jangan ada satupun diantara kalian yang berani meratakan ataupun menyentuh rumah dua lantai itu. Saya akan membuat perhitungan pada siapapun yang tidak bekerja sesuai perintah."

Jerome kemudian meninggalkan pesta peresmian yang masih berlangsung tersebut, ia tidak peduli tentang itu. Karena baginya menghadapi Raga yang sudah menunggunya disana pasti akan lebih seru.

Jerome bahkan tahu bahwa Raga menyimpan kemarahan yang besar padanya. Terlihat jelas pada kepalan remaja itu yang seperti siap memukulnya.

"Ini pria yang mengaku kekasih Jovanka?!"

"Kamu tidak akan mendapatkan apapun dengan berteriak pada saya, Raga. Jika kamu merasa pintar, tentu kamu tau bagaimana caranya bersikap pada orang yang bisa membantumu. Bukan menimbulkan keributan disini."

Raga membuka pintu mobil milik Jerome dan masuk secara serampangan kedalamnya, dimana Romeo tengah berdiri disisi mobil dan menunggu tuannya. Jerome juga melakukan hal serupa melihat kepatuhan Raga.

"Rumah itu adalah peninggalan ayahnya. Dan dengan biadabnya lo sekarang akan membangun proyek sialan itu diatas tanah yang menjadi satu satunya kenangan yang Jovanka miliki. Apa gue harus membunuh lo dulu buat menggagalkan rencana brengsek lo itu?!"

"Ayah kamu yang sudah menjualnya. Seharusnya kamu cegah ayah kamu itu dulu sebelum mendatangi saya."

"Gue pikir lo orang yang tulus, ternyata lo cuma mengincar tanah itukan dengan mendekati, Vanka?"

Belenggu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang