Prologue : Akar

19 7 0
                                    

Rak buku yang sudah menetap lama di kediaman Sang Darah Biru itu mulai termakan debu. Hampir setiap sisinya terhias oleh sejumlah partikel padat kecil dengan diameter kurang dari 500 mikrometer itu. Terkadang butiran nya terbang tak tentu arah membawa hening yang menggebu-gebu untuk berkelana bersamanya.

Kosong di rumah itu adalah hal yang tak lagi baru. Entah pergi kemana pemiliknya sampai menelantarkan rak buku setinggi tiga tingkat beserta isinya yang untungnya masih tertata rapi. Hanya saja beberapa di antaranya terlihat berjamur dan menguning. Sudah cukup membuktikan kalau buku-buku itu jarang disentuh, atau malah terlalu sering dijamah?

Temaram merambat perlahan. Satu-satunya sumber cahaya hanya berasal dari sinar mentari yang menyusup melalui celah jendela. Buku-buku usang itu berubah mengkilap karenanya. Mungkin jika mereka bisa melihat, mata mereka akan menyipit menahan silau.

Senja menyerang di luar sana. Namun sayang sekali tak ada yang melihatnya. Polesan oranyenya sudah seperti anak gadis yang begitu cantik namun berakhir disia-siakan. Kemana perginya semua orang?

Hanya menyisakan angin kencang untuk kembali menebarkan debu-debu pada ruangan. Seolah mereka rela tersapu bersama semua kenangan yang telah tersimpan. Sampai secara tiba-tiba jatuh sebuah buku dari rak teratas hingga membuat hening panjang di sana terpotong selama sedetik.

Tanpa sengaja sang angin menggerakkan sampulnya. Kata "AMERTHA" yang ditulis dengan huruf bergaya kuno itu menjadi satu-satunya hal paling menonjol. Pola abstrak berwarna kecoklatan juga menambah kesan indah yang bisa langsung dilihat dengan sekali pandang. Tebal sampul itu sekitar 0,5 cm, masih kalah tebal dengan tiap halaman yang bersembunyi di baliknya.

Lembar pertama terbuka dengan begitu mudahnya. Tanpa belas kasih sang angin kembali menggerakannya meski harus dengan beberapa kali tiupan. Tak jauh dari buku-buku lain, kertas yang cukup tebal namun juga kasar itu sudah terlihat menguning seolah termakan usia. Waktu seakan telah menghiasnya bersama dengan udara yang terus merayu.

Mungkin bagi sebagian orang, itu hanyalah sebuah buku kuno yang kuning dan berjamur. Mungkin mereka kira itu hanya buku lapuk yang biasa dibaca para orang tua seraya menyesap kopi hitam mereka. Untaian kalimatnya pun tak banyak yang mampu membacanya. Ratusan ribu kata mungkin akan mengantarkan kebosanan yang tiada habisnya.

Namun alam selalu menciptakan pengecualian.

Pengecualian bagi mereka, ketiga pemuda yang justru dengan ringannya membuka lembar demi lembarnya hanya untuk dinikmati bersama camilan kecil di sore hari. Demi mendapat jawaban atas pertanyaan yang masih mengganjal pada hati. Walau sedikit tak rela meski harus pergi. Sebab Amertha dan isinya meminta mereka untuk terus mencari.

Lantas, akankah waktu membawa mereka kembali?

☆☆☆

Terimakasih Konsa ヾ(^-^)ノ

ODISEA TEMPUS : AMERTHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang