one & only

13 1 3
                                    

DISINI JIWA TANPA RAGA

Cahaya remang-remang dari lampu menyambut setelah aku membuka netra. Pening di kepalaku semakin bergelayut. Sakit sekali, bahkan hanya untuk mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu. Selimut tebal kini membalut tubuhku. Entah apa saja yang dirasakan tubuhku saat aku tak sadar. Kini, yang kurasa hanya nyeri di seluruh tubuh. Aku mengerjap, mencoba menyesuaikan cahaya yang menerobos masuk ke dalam retina. Setelah peningku berkurang, aku mencoba duduk, bersandar pada kepala ranjang. Ku amati seluruh ruangan. Bukan kamar tidurku. Hanya itu yang bisa aku simpulkan. Ruang sempit dengan meja belajar yang penuh dengan kertas, single bed bersprei hitam, apakah ini kamar laki-laki?

Sekelebat bayangan melintas di pikiranku. Seperti benang kusut, kaset rusak yang dipaksa berputar. Sangat abstrak.
Seorang laki-laki duduk di sebelahku dengan dua gelas minuman di tangannya. Menyodorkan minuman itu untukku. Bau menyengat dari minuman itu membuatku refleks menutup hidungku. “ini apa kak?"

“mau coba? Minuman enak, manis. Kamu suka manis-manis” aku lantas mengernyit. Apa benar minuman berbau menyengat ini enak? Baunya sudah membuatku mual.

“bener? Baunya ga enak” aku menatap tak yakin pada gelas minuman di tanganku. Bergantian menatap wajahnya yang terkena sorot lampu remang, di ruangan ini. Wajahnya terlihat meyakinkan. Perlahan tanganku mengarahkan mulut gelas itu ke wajah. Ku coba menghirup bau minuman itu sekali lagi, berpikir mungkin bukan bau minuman ini yang aku cium sebelumnya. Setelah minuman itu berada tepat di depan wajahku, aku yakin minuman inilah sumber bau yang menyengat itu. Baunya seperti anggur busuk.

“iya, enak. Coba aja” Bibir itu tersenyum sayu padaku. Minuman itu sudah tandas ditenggaknya, menyisakan gelas kosong berbau busuk. Aku menatap ragu padanya, lalu beralih pada minuman merah ditanganku. Bodohnya aku, entah apa yang aku pikirkan saat itu. Minuman itu mengalir bebas di kerongkonganku, meninggalkan jejak bau menyengat dari mulut sampai indra penciumanku. Pening segera menyergap kepalaku, sesaat setelah aku menenggak habis minuman itu.

“pusing kak” mata sayu tertutup lensa itu menatapku teduh. Mengusap lembut kepalaku lalu meregapku dalam pelukan. Mataku berat sekali. Seperti tidak tidur semalaman. Sayup-sayup ku dengar suaranya di sebelah telingaku. Berbisik lirih, aku mencoba mendengarkannya, walaupun rasanya aku seperti setengah sadar. Ada apa denganku sebenarnya?

“kamu ngantuk? Bobo aja kalo gitu” seperti mantra ajaib, mataku terpejam mengikuti arahan suara itu. Rasanya aku terbang, tubuhku sangat ringan. Sesaat, aku bisa mencium wangi parfumnya bercampur bau minuman yang tertinggal sebelum aku benar-benar hilang kesadaran.

Kepalaku seperti ditimpa batu besar, pusing sekali. Hanya bayangan itu yang kuingat. Wajah itu, aku mengenalnya. Laki-laki yang aku suka. Akira namanya. Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka, memunculkan raut cemas dan lelah dibalik pintu. “kak Akira?”

Senyumku merekah cerah. Setidaknya aku bisa bertanya padanya, apa yang terjadi sebenarnya. Aku bangkit dari ranjang. Menghampirinya yang terlihat gelisah. Aku termenung melihat penampilannya yang acak-acakan. Ia membongkar lemarinya seperti kesetanan. Memasukkan benda apa pun dari lemarinya ke dalam tas ransel hitam besar dengan terburu-buru. Sepertinya tidak tepat jika aku menanyakannya sekarang, dia terburu-buru. Apa ada yang terjadi?

Melihatnya sangat gelisah membuatku mengurungkan niatku untuk bertanya. Aku berakhir hanya menatapnya membenahi barang-barang. Ia mulai melangkah keluar, tanpa menggubris keberadaanku sama sekali. Aku mengikutinya keluar. Melihatnya mengunci pintu, lalu meninggalkan ruangan itu. Aku terus mengikutinya.
Sampai di depan gedung itu, ia berhenti sejenak. Berpapasan dengan seorang laki-laki tinggi jangkung yang balik menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Aku sedikit tersentak, tatapan Kak Kira bukanlah tatapan sendu sayu yang biasa ia berikan padaku. Bukan tatapan penuh sayang yang hangat. Terlihat kentara dari dua netranya, menyirat marah dan sedih dalam waktu yang sama. Aku tidak mengerti. Bukankah kalau mereka berdua adalah teman, wajarkah jika mereka saling  melempar tatapan tajam begitu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Disini Jiwa Tanpa RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang