Prolog

5 2 0
                                    

Aku pernah bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupan seseorang berjalan. Bagaimana mungkin setiap orang bisa memiliki jalan hidup yang berbeda. Bukan hanya itu, tentang nasib pun sama. Seolah terdapat ketidakadilan yang menjerat.

Aku masih ingat, saat usiaku 15 tahun, saat dimana aku tidak lagi diikuti oleh pelayan pribadi kemana pun aku pergi. Aku diam-diam pergi ke perpustakaan milik keluargaku yang berada di samping ruang kerja Papa.

Salah satu buku di sana menuliskan tentang kehidupan sama halnya seperti roda yang berputar. Kadang kita berada di atas kadang juga di bawah. Setiap orang mendapatkan giliran untuk sedih dan bahagia, kaya dan miskin, serta bebas dan terpenjara.

Sejujurnya, aku tidak setuju dengan hal itu. Kenyataannya, masih banyak orang miskin yang tidak pernah merasakan kekayaan sampai akhir hidupnya. Ada juga yang selalu bergelimang harta dari generasi ke generasi. Lantas, dimana letak keadilannya? Bukankah adil berarti sama rata? Rasanya dunia tidak berjalan seperti itu.

Aku sempat berpikir, apa aku terlalu muda untuk memikirkan itu semua? Apa hanya orang dewasa yang akan mengerti dimana letak keadilannya? Tapi kehidupan berjalan bukan hanya untuk mereka yang sudah dewasa, kan? Seperti anak kecil yang merengek meminta permen, sebagian ibu bisa memberikannya, tapi tidak bagi sebagian ibu lainnya. Lantas, bukankah sejak kecil pun sudah merasakan ketidakadilan?

Jadi, seperti apa kehidupan itu berjalan?

Jakarta, 11 Juni 2025

***

"Arunika Syifa Wijaya!" ucap Miss Ana, yang akan menjadi wali kelasku di kelas X Sains A.

"Halo semuanya, perkenalkan saya Arunika. Kalian bisa memanggilku Aruni atau Runi. Semoga kita bisa berteman baik."

Ini adalah saat dimana aku memasuki jenjang SMA. Berada di SMA ternama Indonesia sebenarnya bukan hal istimewa bagiku. Sejak kecil orangtuaku selalu memasukkanku ke sekolah ternama dan itu mudah saja bagi mereka, mengingat keluarga Wijaya adalah pebisnis terbesar no. 2 di negara ini. Setidaknya itu yang terlihat di permukaan.

Wijaya grup tidak hanya fokus pada bisnis properti saja, setidaknya ada beberapa bidang yang ditekuni pada bisnis keluargaku. Termasuk pada bidang fashion yang sekarang dikelola langsung oleh Mama. Mama dulunya seorang model saat Wijaya fashion masih dikelola oleh nenekku.

Aku memiliki seorang kakak yang bernama Steven Brian Wijaya. Aku biasa memanggilnya Kak Stev. Saat ini ia sedang berkuliah di salah satu universitas di Singapura. Aku juga memiliki adik bernama Bastian Farrel Wijaya, sekarang ia masih kelas IX SMP. Kami berbeda setahun, bahkan sekarang tingginya sudah melebihi ku.

Sudah dulu penjelasan tentang keluargaku. Sekarang kembali ke masa perkenalan di kelas. Berkat nama lengkap yang Miss Ana sebutkan untukku, kini banyak siswa berbisik-bisik tentangku. Saat SMP, nama marga tidak bisa disebutkan sesuai dengan aturan sekolah. Itu juga untuk keamanan dan menghindari adanya pertemanan berdasarkan level. Namun sekarang sepertinya aku akan menjalani kehidupan dengan marga Wijaya sesungguhnya.

Satu persatu siswa memperkenalkan nama mereka. Dari yang aku ketahui, siswa di sini kebanyakan dari kalangan atas. Kecuali beberapa dari mereka yang memang bisa masuk ke sini karena beasiswa yang didapat.

Sebenarnya aku tipe orang yang lebih suka ketenangan, dan aku tidak peduli dengan perbedaan kasta atau apapun. Menurutku akan lebih baik jika identitas ku tidak diketahui. Alasannya, supaya tidak ada yang menggangguku dengan maksud lain.

"Runi, boleh kenalan? Gue Lala dan ini sahabat gue Echa sama Indri. Kebetulan sebelumnya kita bertiga satu sekolah. Lu mau nggak join sama kita?"

Aku mengamati mereka bertiga, dari tampilannya sepertinya tidak masalah jika aku dekat dengan mereka. Mereka tidak terlihat seperti orang yang bermuka dua atau sekedar memanfaatkan saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang