SMA Negeri Aina, Jakarta Barat.
Sekarang pukul sembilan pagi. Aku duduk sambil bermain game kesukaanku yang sedang tren di mana-mana, Mobile Legend. Aku tidak bermain sendirian. Di sisi kananku ada Mirian, sementara di sisi kiriku ada Liwa. Walau baru kenal satu semester, kami sudah berteman baik dan menjadi dekat karena game ini.
Sekarang babak pemilihan hero. Aku segera mengamankan hero Kadita, sebab hero itu adalah favoritku.
“Aduh … kenapa pakai Kadita, Mik?” Liwa mendesah kecil sambil menepuk pahaku.
Aku mengangkat bahu. “Biasanya ‘kan begitu. Lagipula ini hero yang terinspirasi asal negara kita, apa salahnya menghargai dengan cara dipakai?”
Aku memang tidak memiliki skin lain selain yang originalnya saja, tetapi itu tidak mebgurangi semangatku membantai lawan. Dan juga, kenapa anak ini sejak pertama main bersama selalu mempermasalahkan skin hero?
“Tahu. Memang apa salahnya?” Mirian ikut menimpali. Dari layar ponselku, aku bisa melihat Mirian memilih Jawhead, sedangkan Liwa memilih Layla.
Sekarang aku yang menepuk pahanya. “Kenapa pakai Miya? Hero itu baru dinerf!”
“Oh? Aku baru tahu.” Liwa dengan entengnya menjawab seperti itu. Padahal tiap hari dia memainkan game ini, tapi informasi nerf hero saja tidak tahu.
“Dia lebih sibuk top up, membeli, dan mengoleksi skin hero daripada informasi seperti itu, Mik.” Aku menganguk, setuju dengan Mirian.
Permainan baru saja dimulai. Level kami masih ada di angka satu. Aku pergi ke jalur bawah dan Liwa jalur tengah bersama Mirian. Kami bermain di mode klasik, jadi tidak terlalu memikirkan jalur yang dipilih. Ngomong-ngomong soal jalur, aku memang masih kurang paham dengan masalah perjaluran hero, sih. Walaupun begitu, ketika aku main di mode ranked, tetap menang. Entah hanya sebuah keberuntungan atau memang aku yang jago.
Lima menit terlewati dengan baik. Aku sudah membunuh lawan sebanyak dua. Pertama hero Faramis yang tidak ada angin tidak ada hujan malah masuk ke dalam tower yang sedang kujaga. Kedua hero Natalia yang permainannya noob sekali, mungkin masih pemula. Dengan terbunuhnya kedua lawan di tanganku, aku diuntungkan di bagian keuangan untuk membeli item hero favoritku ini.
Lima belas menit lagi terlewati. Hasil akhirnya adalah kemenangan untuk tim kami dengan MVP-nya adalah aku. Membunuh 20, mati dua, dan assist 7. Liwa dan Mirian juga tidak jauh berbeda membunuh, mati, dan assist-nya. Hanya saja memang aku lebih banyak—dan lebih jago.
“Lagi, ayo!” kataku, mengajak keduanya dengan penuh semangat. Aku yakin kali ini menang juga. “Mode rank.”
Liwa berdehem. “Sebentar. Room-nya aku buatkan dulu.”
Babak pemilihan hero lagi. Aku kembali memilih Kadita secepat kilat tanpa berpikir panjang.
“Nanti kalau kalah, winrate Kadita-mu turun, Mik.” Liwa tersenyum licik.
Aku membenarkan posisi yang agak merosot dari kursi. “Lihat saja. Mana pernah aku kalah kalau main dengan Kadita?”
“Sombongnya,” timpal Mirian. Dia memang tipe orang yang tenang, kalem. Jujur saja aku lebih menyukai bermain bersama Mirian.
“TEMAN-TEMAN!” Suara itu datang dari ketua kelas kami, Jalla. Dia datang ke dalam kelas dengan wajah panik seperti habis dikejar hantu. “CEPAT SEMBUNYIKAN BARANG YANG DILARANG DI BAWA! ADA RAZIA!”
Kelas yang semula tenang berubah rusuh. Masing-masing teman kelasku berusaha mengumpati barang-barang yang dilarang di bawa ke sekolah. Misalnya penyuara telinga dan lainnya. Bahkan Mirian dan Liwa ikut rusuh, rupanya mereka membawa penyuara telinga. Aduh, permainan kami terhenti. Mereka panik sekali wajahnya. Aku sih tenang-tenang saja, karena aku tidak membawa barang yang dilarang sama sekali. Kau, mulai sekarang jangan memanggilku Mikail. Panggil aku anak disiplin.
Selang beberapa menit, tepat ketika barang-baang temanku telah tersembunyi dengan rapi, seorang guru datang. Bu Marlina, seorang guru killer yang mengajar mata pelajaran Matematika Wajib di seluruh kelas 11 IPA.
“Kalian, silakan berdiri di tempat duduknya masing-masing dan keluarkan barang yang dilarang. Jujur saja sebelum Ibu geledah satu-satu tas kalian.” Ucapannya biasa saja, tetapi nadanya sangat ketus dan seperti penuh emosi. Apa memang tabiatnya seperti itu? Aku sejak awal MPLS memang sudah berusaha tidak dekat-dekat dengannya, tapi apalah daya ternyata malah dia guru Matematika Wajibku.
Beberapa detik berlalu. Tidak ada yang mengumpulkan barang yang dilarang kepada Bu Marlina. Dengan wajah yang memerah, geraham yang mengeras, Bu Marlina mulai mendatangi satu-satu teman-teman sekelas mulai dari bagian kiri kelas sana.
“Mik, Kamu benar tidak bawa apa-apa? Coba cek lebih dulu.” Liwa berbisik. Rupanya dia perhatian juga kalau saat-saat seperti ini.
“Betul. Cek dulu, Mik. Mumpung kita kebagian pemeriksaan terakhir.” Mirian menimpali.
Benar, kami memang duduk di bagian kanan kelas, sehingga kami akan diperiksa paling akhir. Tetapi aku menggeleng sebagai balasan kepada kedua temanku.
“Aduh … kita AFK.” Mirian berdecak kecil, matanya menatap ponsel kami bertiga yang sengaja bagian depan atau layarnya dibalik menghadap meja. Sebelumnya sudah kami kecilkan sekecil-kecilnya suara permainannya.
Di saku kanan dan kiri baju Bu Marlina sudah terkumpul beberapa barang, kebanyakan adalah penyuara telinga. Teman-temanku sebenarnya sudah cukup pintar untuk menyembunyikan di perut, di sepatu, di ember untuk piket, tapi sayangnya Bu Marlina lebih pintar. Mereka ketahuan, hampir sebagian besar.
Sekarang, Bu Marlina memeriksa tas Mirian. Beberapa detik kemudian, karena tidak menemukan apa-apa, dia beralih ke tas Liwa. Beberapa detik kemudian, karena sudah tidak menemukan apa-apa juga, dia beralih ke tasku. Aku dengan senang hati membantunya membuka tas, aku keluarkan berbagai isinya, mulai dari buku paket, buku tulis, tempat pensil, bekal makan, botol minum, dan, eh? Apa ini?
Aku terdiam. Ada sebatang rokok yang sudah tersisa setengah, bahkan ada koreknya juga di dalam tasku. Milik siapa ini? Aku tidak pernah merokok! Bahkan memegangnya saja baru kali ini!
“Ikut saya ke ruang BK.”
---
Bersambung. Jangan lupa vote dan komentar. Tinggalkan jejakmu di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga dan Neraka
Teen Fiction[ Mini Novel | 15+ ] Matilah mati. Sudah waktunya kamu jatuh dan terkubur dalam tuduhan itu. Walau kamu tidak mengakui, tapi kamu akan tetap dianggap pelakunya. Matilah mati. Biarkan semuanya berjalan damai tanpa kehadiranmu lagi. Sudah waktunya...