02. 101

150 4 0
                                    

Suasana rapat berlangsung di ruang pertemuan kampus yang tenang namun penuh ketegangan tersembunyi. Di dalam ruangan tersebut, Rendi dan Zaka duduk berhadapan di meja panjang menatap Dewangga penuh arti.

"Cewe mana maksud lo?"

Itulah arti isyarat mata Zaka dan Rendi yang ditangkap Dewangga. Dirinya memperhatikan sekitar Mahasiswa di dalam ruangan, mata elang nan tajam itu fokus memperhatikan sekeliling.

"Nemu Ngga?" Isyarat Zaka dan Rendi dengan matanya. Dewangga mengusap mukanya, "engga ada disini," bisiknya.

"Jadi gimana Ren?" Tanya Zaka yang sudah kebingungan. Rendi memperhatikan nama di absensi panjang itu, tangannya memainkan pulpen. "Ren gimana anjir?!" Geram Zaka.

"Ye kocak sabar," Rendi mengetuk-ngetuk meja berpikir. Dia masih memperhatikan absensi panjang itu berharap muncul ide dari pikirannya, 'semalam ada 75 Mahasiswa yang hadir, ini hanya 15 yang hadir. Berarti...' Zaka memperhatikan Rendi yang sedang ngomong dengan dirinya sendiri. "Tai lah pusing gua cok!" Rendi menggeram kesal, "siapa sih cewenya?!"

Zaka mengusap mukanya, "gw kira lo nemu ide cemerlang anjir rupanya zonk." Rendi bercengir kuda. Dewangga menatap bersalah pada kedua temannya, karena dirinya semua jadi rumit.

"Maaf ya Ren, Zak. Karena gue jadinya hal pribadi gue jadi ngelibatin keprofesionalan organisasi kita." Dewangga berdiri menatap setiap para Mahasiswa yang sedang mencatat poin-poin yang diberikan asal oleh Rendi, dirinya mengakhiri rapat itu. "Ga perlu dicatat lagi kita boleh balik," tegas Dewangga lalu keluar dari ruangan itu.

Zaka dan Rendi menatap bahu Dewangga yang sudah jauh, ada perasaan sedih melihat Dewangga yang seperti itu, padahal bagi mereka tidak merepotkan sama sekali. "Gimanapun caranya kita bantu Dewangga nemuin gadis itu Ren," Rendi mengangguk setuju mereka keluar dari ruangan itu pergi ke taman kampus untuk menjernihkan pikiran.

Rendi duduk bersama Zaka di bangku taman kampus yang mulai sepi, angin sore yang sejuk berhembus pelan di sekeliling mereka. Sesekali mereka mendesah pelan, Rendi tertawa kecil, getir, lalu menunduk, meremas rambutnya sendiri. "Sengaja ngejomblo karena gamau ribet soal percintaan, tapi malah dibuat ribet sama masalah percintaan temen. Nasib-nasib..." Zaka tertawa, 'iya lagi,' balasnya.

  "Udah kaya detektif dadakan kita Ren, tapi gimana kalau kita salah orang? Gimana kalau gadis itu bukan seperti yang Dewangga bayangkan? Atau... gimana kalau dia bahkan nggak tertarik sama sekali?"

Rendi menghembuskan napas panjang, "berarti kita harus punya strategi."

Wajah mereka serius namun penuh antisipasi. Zaka membuka ponselnya, jarinya mengarah pada data excel yang berisi nama-nama Mahasiswa yang hadir, namun sudah diseleksi oleh Rendi. Nama-nama itu tinggal 60 Mahasiswa, “kita harus lebih cermat,” katanya dengan nada rendah namun tegas. Rendi mengangguk, matanya penuh fokus, siap untuk menyusun strategi demi menemukan gadis yang menjadi incaran Dewangga.

Rendi dan Zaka lari ke ruang rapat untuk mengambil laptop mereka yang tertinggal, sesampai di ruang rapat mereka berdua sibuk mengotak-ngatik laptop.

"Muka gadis itu ga jelas Ren di cctv."
"Di laptop gua juga Zak."

Mereka berdua melempar tatapan satu sama lain, "gada cara lain selain menseleksi nama-nama tersisa."


♡♡♡


Dalam suasana senyap malam, Dewangga duduk di hadapan layar komputer yang penuh dengan baris-baris kode yang rumit. Matanya terfokus, dahi berkerut, dan jemarinya mengetik dengan cepat. Di layar, program yang sedang ia kerjakan menampilkan pesan error yang berkali-kali muncul. Ia telah berjam-jam mencoba menyelesaikan masalah ini, namun belum juga menemukan solusinya.

Kepalanya dipenuhi dengan logika dan alur program yang seakan tersusun dalam benaknya. Setiap baris kode yang ia tulis diperiksa ulang dengan teliti, mencari celah, mencari penyebab error yang membuat program tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sesekali ia berhenti, menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap layar lagi, berharap ada pencerahan yang datang.

Di tengah kesunyian, pikiran Dewangga melayang sejenak, mengenang hari-hari ketika ia pertama kali belajar coding. Saat itu, semuanya tampak sulit, tetapi kini, meski masalah yang ia hadapi lebih kompleks, ada keyakinan bahwa ia bisa menyelesaikannya. Kode adalah teka-teki, dan ia adalah pemecahnya. Tangannya kembali bergerak, memperbaiki sintaks yang salah dan menyesuaikan alur logika. Satu per satu, ia memeriksa variabel, loop, dan fungsi. Hingga akhirnya, sebuah solusi mulai terbentuk di pikirannya. Dengan penuh keyakinan, ia mengetik perubahan terakhir, lalu menekan tombol "Run" dengan harapan besar.

Sejenak, layar tampak diam, kemudian program berjalan tanpa error. Dewangga tersenyum puas, meskipun matanya lelah, tetapi ada kepuasan tak ternilai dalam keberhasilannya. Dewangga merebahkan tubuhnya ke kasur, belum beberapa menit sebuah panggilan berbunyi dari ponselnya, tangannya meraba-raba benda pipih itu.

"Rendi," gumamnya saat membaca nama orang yang menelfonnya di tengah malam hari.

"Woi Ngga kirim dulu kodinganmu pantek kodinganku error anj," ucap Rendi di sebrang sana.

"Hidup memang saling membantu Ren, tapi kalo kodinganmu error ya masing-masing lah anj kok ngajak-ngajak tai. Bye!"

"Dewangganj—"

Dewangga melempar ponselnya asal. Matanya mulai tertutup perlahan, kantuk menyerangnya hingga ia tertidur malam itu.

♡♡♡
wow wow wow gimana nic kisah lanjutan Dewangga and girl crushnya kira kira temen temennn ?????

RAIN IN THE DARKNIGHT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang