“Mari bernyanyi lebih keras untuk daksa yang tuli pada jeritan lukanya.”
"Tadi aku tidak sengaja melihat notif pesan dari kakakmu."
"Apa yang dia katakan?"
"Katanya, kenapa kau tidak pulang sebentar lagi kau akan punya keponakan." Biru mengambil salah satu novel di samping lengan Nalu.
Nalu mendengarkan. Ia membalik lembar halaman untuk melanjutkan bacaannya. Posisinya begitu santai tengkurap di atas kasur dengan novel yang bertengger indah dikedua telapak tangannya.
"Malasnya aku, dia terlalu membanggakan pernikahan paksanya. Aku lebih suka tinggal disini, kau tidak keberatan kan?"
"Aku tidak menggendongmu, sudah jelas tidak keberatan."
Nalu mendelik sebelum akhirnya ia merasakan sakit di bagian kepalanya. "Kepalaku rasanya sakit," ujarnya, ia meletakkan novel yang ia baca tepat di bawah wajahnya.
Biru yang rebahan di sampingnya menoleh pelan. "Hey, hidungmu keluar darah." Dengan buru-buru Biru bangun mengambil tisu lalu ia berikan pada Nalu.
Darah dari hidungnya menetes cepat mengenai buku novel yang tadi ia baca. Dengan segera ia memindahkan buku tersebut kemudian Nalu mengubah posisinya jadi duduk. Tisu ditangannya sudah penuh dengan darah.
"Kepalaku sakit," adunya sedikit meringis.
"Jangan mendongak," tegur Biru saat Nalu mendongakkan kepalanya.
Biru membantu Nalu dengan terus memberinya tisu. "Ak—"
"Tidak perlu khawatir, sebentar lagi ini berhenti." Nalu menenangkan Biru yang bergerak gelisah ditempatnya. Ia ingin mengeluh sakit tapi tidak ingin membuat sahabatnya semakin khawatir.
Bukan pertama kalinya ia mimisan seperti itu ia pernah mimisan parah sampai harus dibawah ke rumah sakit. Kali inipun sebenarnya ia harus ke rumah sakit, namun mengingat rumah sakit cukup jauh dan hanya ada sepeda tidak mungkin mereka ke rumah sakit dengan sepeda. Juga tidak ada tetangga yang bisa dimintai tolong.
"Lihatkan, sudah berhenti," tuturnya setelah mengambil tisu terakhir dari tangan Biru.
"Apa kau sering mengalami ini?"
"Iy—tidak juga," bohongnya. "Aku baru mengalaminya beberapa kali saja, kau tenang ini bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan secara berlebihan."
"Benarkah?"
"Iya, Biru. Maaf bukumu jadi kotor terkena darah."
Biru melihat novel dengan bercak darah di sana ia sama sekali tak mempermasalahkan kotornya novel tersebut. Biru hanya khawatir pada keadaan Nalu, ia tahu Nalu sedang berbohong agar dirinya tidak begitu khawatir.
"Biru aku ke kamar mandi dulu," pamitnya dengan tergesa-gesa.
Biru melihat kepergian Nalu dan entah kenapa muncul rasa penasaran tinggi dalam dirinya. Biru mengikuti Nalu, selain rasa penasaran tingginya ia juga takut jika nanti Nalu pingsan.
Biru mendekatkan telinganya tepat di pintu kamar mandi. Ia mendengar suara Nalu menggerutu dari dalam sana. Ia juga mendengar suara tangis temannya itu.
Biru kasihan dengan Nalu, namun ia juga tak tahu harus melakukan apa. Ia baru melihat orang mimisan untuk yang pertama kalinya.
Suara Nalu tak lagi terdengar membuat Biru dirundung rasa khawatir. "Nalu, apa kau baik-baik saja didalam?" tanyanya, namun tak ada sahutan dari Nalu. "Nalu!" Biru sedikit meninggikan suaranya takut jika Nalu tak mendengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melautkan Rasa
Ficción General-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Potongan cerita : Ia terus memandangi bunga tersebut yang semakin menjauh dari dirinya. Biru menyudahi aksi pelepasan bunganya. Ia memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir panta...