Amor

100 11 37
                                    


RATE : T
WARNING! : Ooc, Typo, AU, etc.

Sedikit informasi, arti 'Chop' disini anggap aja kaya kucing lagi 'meong' ok?

Enjoy
.
.
.

•AMOR•
.
.
.
.

Aku sudah mengenal Uta kira-kira sejak lahir. Rumah kami bersebelahan, jadi tumbuh bersama adalah hal yang tidak bisa dihindari. Sosoknya selalu berada di ingatanku, sebagaimana aku tak pernah absen dari foto album keluarganya. Menurutku, bukan salahku jika Uta menjadi objek cinta pertamaku.

Sewaktu umur kami lima tahun, kami dimintai guru TK —Hancock namanya— menjadi penabur bunga dalam acara pernikahannya. Uta berjalan bersamaku menuju altar saat itu. Dia memakai gaun yang cantik. Bahkan di mataku, guru kami saja kalah cantiknya.

Sekarang, 22 tahun kemudian, di sebuah butik ternama, aku melihat Uta mengenakan gaun pengantin sungguhan. Wajahnya tampak semakin cantik dengan pancaran bahagia di sesi fitting baju ini.

"Bagaimana penampilanku?" Uta memutar badannya.

"Cocok," jawab calon mempelai pria, tak lupa disertai kecupan ringan di pipi. Bukan aku, tentu saja.

Namanya Trafalgar Law. Dia adalah teman sekelas kami dari sekolah dasar. Anaknya pintar keterlaluan dan wajahnya sedap dipandang. Nyaris semua siswi mengaguminya karena hal itu, termasuk Uta. Hanya saja dia ini payah dalam berteman dan banyak yang tidak tahan dengan 'kejujuran'nya, sampai-sampai sukses terisolasi dari ekosistem kelas dengan sendirinya tanpa perlu campur tangan siapapun. Awalnya aku hanya berteman dengan Law agar Uta bisa dekat dengannya. Apapun untuk senyuman bungaku. Setelah melewati banyak hal bersama, akhirnya kami bertiga bersahabat baik- bahkan Uta berusaha agar perasaannya tidak menjadi penghalang persahabatan ini.

Setelah bertahun-tahun Uta terus berusaha-bahkan sampai kuliah di jurusan yang sama-akhirnya Law luluh juga. Mereka akan menikah akhir bulan ini.

Sedangkal apapun kepekaan Law terhadap perasaan manusia, dia bukan asosial. Sahabatku itu tahu kalau dari dulu aku naksir Uta. Ketika memberitahukan rencananya untuk meminang Uta beberapa bulan yang lalu, dia terlihat sedih. Meski sudah kuberi lampu hijau, ia selalu meminta maaf setiap ada kesempatan. Perlu kutonjok dua kali sampai dia mau berhenti meminta maaf.

Mendengar permintaan maaf berulang-ulang itu bikin dongkol, benar?

Singkat cerita, Law dan Uta resmi bertunangan. Keduanya ingin dibuatkan kue pengantin olehku, mentang-mentang sahabatnya ini adalah seorang koki. Sepertinya aku kena sindrom masokis karena selain menyetujui permintaan itu, aku juga menawarkan diri sebagai wedding organizer relawan. Beri aku tepuk tangan.

"Sewaktu Zoro bilang kau mau ke sini, aku tidak mengira kau ke sini untuk temanmu," kata pemilik butik begitu fitting baju selesai. Dia adalah Robin, istri dari seniorku.

"Sahabat," ralatku.

Kak Robin tertawa kecil. Wanita berambut hitam pekat itu memukul pundakku seraya bertanya, "Kapan mau nyusul?"

Pertanyaan legendaris pun tiba, yeay, pikirku masam.

"Nanti. Nunggu telur Chopper mengeluarkan rusa dulu," Aku menjawab asal.

Seketika aku teringat kalau aku belum memberi makan Chopper. Rakun itu pasti sudah mengacak-acak dapur sebagai bentuk demonstrasi berisi petisi jadwal makan yang lebih rakunsiawi. Lagi.

"Umurmu sudah matang, Luffy. Mapan? Sudah. Apa lagi yang kau tunggu? Sampai pemerintah membebaskan kriteria pernikahan dan kau bisa legal dengan Chopper?"

AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang