BERGEMING adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Beberapa meter di depanku Albagja tengah -nyaris- mengamuk. Suaranya lantang dan penuh emosi. Beberapa penanggung jawab logistik yang tengah berbaris di depan bus menunduk dalam, tak mampu berkata-kata.
"Saya tadi berkali-kali mengingatkan kalian untuk diperiksa kembali, kenapa tidak kalian lakukan?" suara yang biasanya setenang telaga kini terasa penuh gejolak dan penekanan, aku meringis.
Ravi di samping kanan bersidekap, sorot kekecewaan kentara dari wajahnya yang memerah, antara oleh terik matahari atau oleh amarah.
"Sekarang setelah begini bagaimana? Kembali ke kampus lalu kembali ke sini begitu?" imbuh Albagja, nadanya sedikit turun. Detik berikutnya ia menunduk sambil berdecak pinggang.
𝘔𝘪𝘴𝘵𝘦𝘳𝘪𝘶𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘬𝘶𝘭𝘮𝘶. 𝘋𝘪𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘨𝘢𝘴 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘔𝘢𝘩𝘦𝘯𝘥𝘳𝘢, 𝘴𝘵𝘳𝘪𝘤𝘵 𝘫𝘶𝘨𝘢. 𝘈𝘯𝘦𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢.
Kalimat Yuki berminggu-minggu lalu menari-nari di kepalaku. Memang benar selepas Yuki mengatakan itu aku menerka-nerka keabsahannya karena tak pernah sekalipun melihat seorang Albagja bersikap "tegas". Rupanya hari ini ditunjukkan secara gamblang. Bahkan Mahendra sendiri yang menjadi sasaran.
Tadinya aku kembali sebagaimana permintaan tolong dari Joe untuk memanggil seluruh anggota agar bisa makan siang bersama-sama tetapi inilah yang kudapat. Aku ingin melangkah lebih dekat, meraih tangan orang yang tengah diliputi amarah itu tetapi untuk bergerak saja sulit.
Aku belum tahu kesalahan fatal apa yang penanggungjawab logistik perbuat sehingga Albagja murka seperti ini, namun kedua sisi, entah yang melakukan kesalahan maupun yang menegur tidak bisa dibiarkan. Termakan emosi tidak baik, kau akan menyesalinya nanti.
Kukumpulkan niat lebih untuk mendekat sambil menarik napas. Kakiku baru berhasil terangkat saat seseorang melewatiku dengan cepat, meninggalkan aroma parfumnya di sekitarku. Itu Kinan, setengah berlari ke arah Albagja dan begitu sampai, tangannya bergerak. Dalam hitungan sepersekian detik aku memilih memutar haluan karena tak ingin melihat kelanjutan adegan yang sudah bisa kutebak ke mana arahnya.
Aku kalah sebelum berperang. Agaknya Riluna yang katanya seorang pemberani ditelan terik matahari, atau mungkin ditelan mabuk perjalanan. Kuhembuskan napas dalam kemudian memaksakan diri untuk tersenyum karena jika tidak, aku akan menangis. Sesaknya mulai merangkak ke tenggorokan.
"Mana mereka?" tanya Yuki ketika aku duduk. "Sepertinya ada sedikit masalah, paling sebentar lagi menyusul," sahutku sekenanya. "Ah padahal aku sudah lapar," sambungku mengalihkan atensi Yuki dari acara menelisik ekspresi wajahku.
"Iya... Aku juga. Apa sih kalimatnya? 𝘏𝘢𝘳𝘢 𝘩𝘦𝘵𝘢," berhasil. Aku menganggukkan kepala. "𝘖𝘯𝘢𝘬𝘢 𝘨𝘢 𝘴𝘶𝘪𝘵𝘢," ucapku sambil mengusap perut dramatis.
Tak sampai sepuluh menit, yang ditunggu-tunggu menghampiri. Mahendra dan beberapa pengurus masih tertunduk lesu kontras dengan wajah Albagja, kilat emosi masih terlihat dari sorot matanya, kurasa karena itu Ravi merangkul dan menepuk-nepuk dadanya.
Kinan sudah berlalu, kembali duduk bersama teman-teman alumni sedangkan si ketua dan wakil menghampiri Joe di depan, membagikan seluruh makanan terlebih dahulu sebelum duduk dan mulai menyantap makan siang.
Ketika tangan Albagja mengulur dengan sekotak makanan ke arahku, ia tersenyum kecil, amarahnya agak terkikis. Dari senyum itu seolah tersirat "aku tidak apa-apa", mungkin karena tatapan khawatirku terlalu mencolok. Aku mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Always Will 「 Jackson x Jihyo 」
RomanceMengerikan bagaimana Tuhan mencabut rasa itu darimu sementara dariku belum.