Suara permintaan tolong itu terdengar dari bagian belakang pohon besar yang tidak jauh dari lokasi mereka sekarang.
Tanpa banyak bertanya, rombongan itu langsung menghampiri asal muasal suara. Semakin dekat, suaranya pun terdengar semakin jelas.
"Apakah ada orang di sana?"
"Siapapun, tolong kami!"
Tidak salah lagi, itu adalah Hijau bersama dengan Oranye.Kini, mereka berdua tengah terikat disebuah batang pohon yang amat besar. Warna-warna lain yang melihat itu, dengan sigap mencoba melepaskan ikatan pada tubuh Hijau dan juga Oranye.
Mereka diikat dengan sebuah akar pohon yang tebal, ikatannya cukup kuat. Pasti orang dengan teknik simpul terbaiklah yang mengikatnya.
Tetapi syukurlah, ikatan itu bisa dilepaskan ketika Merah mencoba melepaskannya dengan pedang yang tergeletak di bawah mereka.
"Wah, ini pedang kalian?" seru Merah penuh antusias.
Alih-alih menjawab seruan Merah, Oranye malah balik berseru dengan amarahnya yang telah menggumpal sedari tadi, "Kenapa kalian baru datang? Kami sudah ada di sini berjam-jam yang lalu!"
Biru yang melihat itu, balas marah, "Seharusnya kamu itu berterima kasih! Kami sudah berbaik hati menghampiri kalian di sini, coba tebak saja apa yang akan terjadi jika kita tidak berpikir begitu!"
Sebelum perdebatan itu makin memuncak, Kuning lebih dulu memisahkan mereka. "Kalian ini, selalu saja bertengkar! Tidak di akademi, tidak di sini, sama saja!"
Mulut keduanya langsung tersumpal oleh kesadaran, lantas menatap satu sama lain dengan canggung. Tabiat memang susah dihilangkan
"Sekarang kita harus apa?" tanya Kuning setelah menenangkan dirinya dari kelakuan Biru dan Oranye.
"Sebaiknya kita pulang saja, aku tidak mau terjebak di tempat-tempat antah berantah ini lebih dalam lagi," dengan gugup Nila menyuarakan pendapatnya.
Jingga menggeleng tegas. "Sayangnya, portal itu bekerja hanya untuk mengantarkan kita ke sini, tidak bisa sekaligus membawa kita kembali pulang."
"Berarti, kita harus mencari jalan keluar baru?" Ungu mencoba menyimpulkan sendiri.
Hanya anggukan singkat dari Jingga sebagai jawaban dari pertanyaan itu. Mereka kembali buntu, tetapi disaat seperti inilah jalan keluar baru selalu kembali ditemukan.
Tiba-tiba saja, geraman raksasa tadi kembali terdengar.
"Ah, apa kita telah membangunkannya?" tanya Nila, ia terkejut bukan main.Namun selang beberapa menit, suara raksasa itu tidak terdengar lagi digantikan dengan suara derap kuda.
"Hei, kalian!" seruan tegas terdengar menggema dari arah belakang.
Hijau berseru, "Maroon? Kenapa kau ada di sini? Pergilah sana bersama dengan komplotan pengkhianat mu itu!"
Maroon menghela napasnya, perlahan ia turun dari atas kudanya. "Dengar, aku minta maaf-"
"Tidak perlu meminta maaf! Kami tidak ingin mendengarkan sepatah kata pun darimu!" ujar Oranye sebelum membiarkan Maroon menyelesaikan kalimatnya.
Biru mengangkat tangannya. "Aku ingin. Silahkan lanjutkan, tuan."
Tatapan tidak percaya langsung Oranye lontarkan pada Biru. 'Apa-apaan dia ini?!' Orang bermonolog.
Maroon mencoba melanjutkan kalimatnya, "Kalian tahu? Sesaat setelah Raja sampai di istana, ia marah besar mengetahui kalian tidak ada di sana. Raja mengatakan jika ia bertemu dengan kalian lagi, kali ini ia tidak akan bermain-main dan akan langsung menghabisi kalian."
Napas mereka sedikit tertahan dengan penjelasan Maroon.
"Lantas kita harus apa? Orang-orang itu jelas tahu bahwa kita akan ke sini" Nila sekali lagi sebagai warna pertama yang panik, mengusap wajahnya.Dengan gagah, Maroon kembali naik ke atas kudanya. "Ikuti aku, aku tahu salah satu jalan keluarnya."
Mereka tidak langsung mengikuti Maroon. Setelah apa yang terjadi, tidak langsung mengikuti instruksi orang-orang adalah sebuah pelajaran bagi mereka.
Maroon yang menyadari itu menghentikan langkah kudanya. "Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tetapi percaya ataupun tidak percaya, aku tidak terpengaruh oleh orang-orang di istana itu. Aku tidak mungkin memberitahu kalian jika aku adalah salah satu dari mereka. Aku punya prinsip pribadiku sendiri, nak. Prinsip seorang petarung."
Kata-kata yang penuh dengan keyakinan itu, berhasil meluluhkan satu per satu keraguan mereka. Begitulah, pada akhirnya mereka tetap berjalan mengikuti instruksi yang diberikan oleh Maroon.
Hingga langkah kaki mereka terhenti di depan sebuah air terjun.
"Kenapa kita berhenti di sini?" Ungu bertanya pada Maroon."Karena memang inilah jalan keluar yang aku tahu, seberangi air terjun itu dan kita akan menemui sebuah pemukiman," jawab Maroon dengan lantang, ia berusaha mengalahkan suara air terjun yang begitu keras.
Mereka sudah amat mendesak, mau ataupun tidak mau. Jingga lebih dulu memasuki kolam itu, airnya begitu sejuk dan dangkal.
Bohong jika mengatakan tidak ingin menghabiskan waktu di sana. Andai kata nanti-nanti suasananya telah membaik, mungkin mereka akan mampir lagi ke mari.
Lagi pun, siapa yang akan percaya bahwa di seberang air terjun itu ada sebuah pemukiman? Lebih terdengar seperti dongeng yang selalu ibu ceritakan sebelum tidur.
Namun, jika Maroon yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup di sana mengatakan itu, maka mereka lebih baik mengikuti saja. Setidaknya untuk saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiruk Pikuk Warna
Fantasy"Pulau Anantara itu nyata adanya," Oranye berteriak lantang di ruang makan asrama pagi itu. Disitulah awal mula sebuah cerita dimulai, tentang ada atau tidaknya pulau yang orang-orang dambakan pada masa nya juga persahabatan serta perbedaan mereka y...