Bab 4

3 0 0
                                    

Kiraya duduk menyandarkan badan ke sofa, akhirnya setelah kesibukan yang mendera selama berhari-hari berhasil di lalui. Badannya nyaris remuk, beruntung luka-luka di punggungnya mulai mengering walau berulangkali tangannya tidak bisa diam menggaruk punggungnya saat gatal.

"Non udah pulang?" Bi Laksmi tiba-tiba menghampiri.

"Belum Bi... Ini raganya doang. Kalo nyawanya masih ngambang di mana-mana." Ujar Kiraya sembari menyalami tangan Bi Laksmi kemudian kembali ke posisi semula.

Bi Laksmi geleng-geleng kepala. "Mau bibi siapin makan sekarang?"

"Boleh Bi, tapi aku mau mandi dulu." Kiraya beranjak, baru beberapa langkah dia berbalik, "Ayah belum ngabarin mau pulang kapan Bi?"

Bi Laksmi menggeleng ragu.

"Ooh... Oke." Kiraya melanjutkan langkahnya.

Terkadang Kiraya rindu dengan sang ayah, dia rindu bercengkrama dan berbincang sambil menyalurkan pendapat, saling berdebat untuk menunjukkan siapa yang menang.

Menghela napas berat, dia mencoba tersenyum. Semuanya sudah berada di garisnya masing-masing. Ngga ada alasan untuk mengeluh.

"Sabar Non, suatu hari nanti tuan pasti bisa kembali lagi seperti dulu. Bibi selalu doain yang terbaik buat Non." Monolog Bi Laksmi sendu begitu mendapati raut paksa nonanya.

*****

"Hadiah buat cewek manis yang udah kerja keras." Ujar Devan meletakkan sekantong cemilan di depan Kiraya.

"Uwaah.... Thanks to you, brotha." Kiraya memekik girang.

Devan mengangguk disertai senyum. "Kenapa kemarin ga ikut kumpul? Lo tau, kemarin kita di wawancarai sama Blade star." Devan memberitahu.

Kiraya mendengarkan sambil membuka satu bungkus keripik kentang favoritnya. "Blade star?" Tanyanya mengerutkan alis.

Devan membola, "lo ga tau Blade star? Majalah terkenal yang udah pasti bakal di siarin di seluruh TV Nasional?"

"Gue baru denger malahan." Kiraya terkekeh melihat tingkah Devan yang menatapnya tak percaya. Bukan salahnya dong ngga tau siapa itu blade star, karena dia jarang nonton tv ataupun main sosmed. Tapi bagus juga sih dia ngga ikut wawancara, setidaknya ayahnya ngga tau.

Sedangkan di lain tempat, beberapa orang berstelan kerja resmi sedang membicarakan berita terkait perlombaan yang dimenangkan murid Karlingga.

"Akhirnya setelah sekian lama, kita ada kesempatan bisa masuk internasional." Ujar seorang bapak berkacamata.

"Benar sekali Pak Hadi."

"Bukankah dulu kita sempat lolos seleksi? tapi entah apa alasannya tiba-tiba dia mundur. Sangat di sayangkan. Padahal dia adalah kandidat terkuat yang diakui seniman  terkenal." Saut Pak Handoko.

"Dulu saya sempat geram saat mendengar kalau dia mengundurkan diri. Ck... Kecewanya bahkan sampai sekarang. Menyia-nyiakan kesempatan emas."

"Memang sangat disayangkan. Tapi itu sudah cerita lama, tidak baik selalu berpatok pada hal-hal yang sudah berlalu. Mungkin dia memiliki alasannya sendiri. Who knows."

Semua mengangguk mendengar penjelasan Pak Hadi, memang tidak seharusnya mereka menjudge seseorang tanpa tahu alasan di belakangnya. Manusia boleh berasumsi tapi tidak boleh memaksakan asumsi tersebut sebagai jawaban mutlak.

Trakkk....

"Maaf, saya masih ada urusan." Pamit Kailan setelah menghabiskan kopi hitamnya. "Kalau ada hal yang perlu ditanyakan, bisa hubungi sekretaris saya. Terimakasih." Sambungnya beranjak pergi tanpa menunggu balasan. Alden sang sekretaris membungkuk sopan tanda pamit lalu mengikuti langkah sang tuan yang akan membuka pintu sebelum sebuah suara menghentikan niat Kailan.

Pluviophilia (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang