satu

45 16 19
                                    

Namanya Hesta. Rahesta Lesmana. Laki-laki yang kutemui beberapa jam lalu tidak pernah aku sangka akan menjadi patah hati keduaku di hari perayaan ulang tahunnya.

Harusnya hari ini menjadi hari yang paling aku tunggu. Beberapa plan kecil, seperti apa dan mau kemana setelah merayakan ulang tahunnya bahkan sudah kusiapkan. Aku ingin menghabiskan waktu seharian ini bersamanya. Berkeliling Malioboro sambil mendengarkan ceritanya selama di Bandung setelah lama tidak bertemu.

Aku hanya ingin mendengar tentangnya. Hesta saja, bukan yang lain.

Sayangnya, rencanaku pupus sebelum sempat kukatakan. Hesta pergi beberapa saat setelah mengatakan Raisa menunggunya di rumah. Kenyataan yang cukup menamparku, menyadarkan bahwa apa yang kudengar tadi benar adanya. Mereka akan bertemu dan kembali bersama dalam hubungan yang tidak kuharapkan terjadi.

Lagi.

Egois memang. Dulu aku pikir mencintai Hesta tidak apa-apa. Aku tidak memintanya membalas perasaanku, cinta kepadaku, atau sedikit saja mempunyai perasaan yang sama. Aku tidak berharap apa pun. Selama Hesta berada di dekatku itu sudah lebih dari cukup. Keyakinan yang aku percaya tidak mengubah apa pun justru kini berbalik menjadi bomerang untukku sendiri.

Aku lupa akan satu hal yang sering membuat manusia lupa. Semua yang kita miliki, apa yang kita beri kepada orang lain selalu memiliki konsekuensi. Patah hati, misalnya. Konsekuensi yang jelas aku tahu akibatnya.

Perasaan yang secara terbuka kuberikan untuk Hesta terus tumbuh tanpa bisa aku kendalikan. Kupendam lamanya seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Namun, belum sempat bom itu meledak, pemicunya padam. Waktu hitung mundur tidak pernah berjalan. Lebih dulu mati oleh rasa sedih, kesal, marah, dan kecewa. Bercampur menjadi satu emosi yang menyebalkan. Pun menyakitkan.

Mungkin ini karma, balasan untukku karena begitu lega mendengar hubungan Hesta berakhir satu tahun lalu. Tuhan membalasku telak. Tidak membiarkanku mengambil sedikit pun celah dengan laki-laki yang kucintai empat tahun lamanya.

"Udah deh, Nad. Lupain aja tuh cowok. Gak ada enaknya makan hati terus." ucap Caca yang sudah aku hafal di luar kepala.

Salah satu orang yang tidak setuju dengan hubungan-perasaan-tidak-jelasku adalah Caca. Because she knew it would hurt me and yes she was right. And now is the time.

Setelah membiarkanku menangis sejam atau lebih—tidak tahu berapa lama karena yang aku lakukan hanya menangis dan terus menangis sampai mataku sedikit bengkak—berkat feeling perempuannya, Caca memberiku pelukan hangat saat aku tiba-tiba datang menemuinya, seolah tahu yang aku butuhkan hanya ruang untuk sendiri.

"Kan, aku bilang juga apa, Nad. Kamu juga sih naif banget jadi orang. Sek namanya cinta itu harus timbal-balik, gak bisa sepihak doang. That’s not fair." sambungnya lagi. 

Aku masih bertahan dibalik selimut, menyembunyikan kepalaku lebih dalam. Semuanya terasa melelahkan. Aku tidak memiliki energi untuk melakukan apa pun lagi. Tapi sepertinya perempuan dengan roll rambut menggantung di poni itu tidak akan tinggal diam melihatku terus meratapi patah hati.

Kupegang erat selimut menutupi telinga saat terdengar suara bising dari layar tv. Caca pasti membuat agenda lain untuk merayakan patah hatiku.

"Bangun ih. Makan sek. Tak laporin Mamamu kalau gak bangun-bangun juga." ancamnya gemas menarik paksa selimut yang kupakai hingga jatuh seluruhnya di lantai.

Aku cemberut. "Rese banget sih, Ca. Lagi berduka tahu gak."

"Justru itu. Orang yang lagi berduka butuh banyak energi buat nangis." Sepiring batagor digeser ke arahku. "Sek penting kamu makan sampe habis. Terserah habis ini mau lompat dari lantai sepuluh sebelas juga asalkan bisa bikin cinta pertamamu jomlo lagi."

Oke, Caca kalau ngomong emang pedas banget. Aku menurut. Perutku memang sudah terasa sangat perih.

"Serem banget sampe lompat dari gedung." Bayu baru bergabung dengan membawa setoples keripik kentang di tangannya.

Aku baru menyadari kehadirannya karena sejak tadi dia sibuk berduaan di balkon bersama laptop kesayangannya.

"Tak bantu doa deh sambil videoin biar viral."

"Gendeng." umpatku dan Caca bersamaan.

"Yang penting ganteng ya gak?" goda Bayu membuatku refleks melempar pilus ke arahnya.

Refleks yang seketika aku sesali, laki-laki dengan muka tengilnya itu berpaling padaku, meledek lebih tepatnya. "Mesakke men, Nad, jomlo meneh. Eh, emang jomlo ya."

Kan. Menyebalkan.

"Ngeyel sih dibilang sama aku we gak gelem. Sek pasti setia udah di depan mata ini."

"Setia matamu. Suruh jauh-jauh
sana loh cewek-cewek gak jelasmu itu, Bay. Gangguin terus."

"Itu artine gak ono sek iso ngalahin pesona kegantenganku ta, Ca." cengirnya. "Udah kamu akuin aja. Jangan-jangan takut kalah saing yo ra?"

Caca memutar mata. "Dih, lanangan akeh gak kamu tok. Masih banyak cowok di dunia ini. Nad, kamu tandain si Bayu. Kalau ada cowok yang deketin kamu modelan buaya kampret ini, bilang sama aku."

"Serba salah jadi orang ganteng. Gantengan endi aku mbek gebetanmu, Nad?"

"Kamu kebanting sampe minus." jawabku sebal. "Ganteng dia kemana-mana lah."

"Jahat banget mulutnya." Bayu mengelus dada seolah benar-benar tersakiti oleh ucapanku. "Ketularan Caca ya, Nad. Makane jangan kebanyakan main sama tuh anak."

"Aduh, sakit, Ca! Bantuin Nad, elah!"

Aku menggeleng, tidak berniat membantu. Biar tahu rasa. Menyelamatkan batagor jauh lebih berharga. Aku pindah ke pojok sofa, menjadi penonton setia.

"Keluar. Pergi gak."

Bayu meniup bahunya yang berbekas merah, hasil dicubit Caca. "Lagi pms, Ca. Nesu-nesu wae."

"Bodo amat. Pulang gak."

"Jangan galak-galak entar naksir beneran tahu rasa."

Caca mendengus. "Amit-amit. Mending jomlo seumur hidup daripada sama manusia kaya kamu gitu."

Bayu terkekeh. "Amit-amit dalam hati amin-amin."

Aku tertawa. Melihat tingkah mereka, seperti sekarang ini, cukup menghibur perasaanku. Dua tahun bersama mereka, aku sadar masih ada hal yang perlu disyukuri, yang terus berada didekat dan menemaniku. Aku masih memiliki mereka.

"Nyebelin banget sih, Bay." Caca bersiap mengambil semua bantal di sofa dan melempar ke arah Bayu, tapi laki-laki itu lebih dulu berlari kabur.

"Sini gak. Ginjalmu tak cubit tau rasa."

Lagi-lagi meleset. Apesnya bantal itu melayang ke arah pintu.

"Mampus." kataku pelan melihat siapa orang yang baru saja muncul dari balik pintu.

Bayu dan Caca terlambat menyadari akhirnya terdiam di tempat. Laki-laki dengan wajah kusut—dari balik kacamatanya terlihat sangat lelah—tanpa sepatah kata berjalan melewati kami begitu saja. Hampir bisa sama-sama bernapas lega, sebuah peringatan bahaya terdengar dari kamar belakang.

"Beresin atau kalian gue usir."

Lantas terdengar suara pintu kamar terkunci dari dalam.

Bahaya satu.

Buru-buru kami merapikan semua yang berantakan. Bayu dan Caca masih sempat-sempatnya saling menyalahkan. Aku menghela napas pelan, menutupi wajahku dengan selimut. Berharap bisa menghilang sementara waktu.

orang jawa (katanya) tapi bingung nulis cerita pake bahasa Jawa sksksksj

next?

Mari Kita Mulai Kembali Cerita Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang