TS 41. Senyum

13 4 0
                                    


Senyum

Belajar setia apapun bentuknya. Belajar tulus di mana pun tempatnya. Belajar romantis, kapan pun waktunya. Belajar menerima bagaimana pun keadaannya. Asal, semua itu tepat dalam merotasikannya.

Tuan, jika sebelumnya aku selalu mengulik konflik yang menyandung sandyakala kita, sekarang aku akan berusaha lebih banyak menyinggahkan surat cinta kepada sang Maha Kuasa.

Waktu itu Tuan pernah bilang, bukan? Hehe. "Sorot matanya digunakan dengan tajam ya, naluri pemikirannya dihidupkan, jangan asal membuka mulut untuk mengunggah sesuatu yang belum dicermati."

Kalimat tersebut berulang-ulang Tuan berikan. Hanya saja, aku belum bisa menerima dengan lega. Tutur manismu kuangggap makian, lamamu mengukir pesan udara kuanggap pengabaian atas pertanyaan dan ucapanku yang ingin dimanjakan, bahkan sampai sapamu yang terkadang sedingin air lautan, kukira adalah sebuah pengkhianatan yang tak peka untuk memantik penghargaan. Haha, serandom itu prasangkaku untuk Tuan yang ternyata setulus pahlawan.

Sayang, denting waktunya sudah mengabarkan bahwa sekarang aku bisa menerima nasihat dan sikap Tuan. Aku paham makna penting yang Tuan suguhkan. Hati ini juga terketuk untuk mengontrol setiap dedikasi yang terbius intruksi.
penghargaan. Haha, serandom itu prasangkaku untuk Tuan yang ternyata setulus pahlawan.

Sayang, denting waktunya sudah mengabarkan bahwa sekarang aku bisa menerima nasihat dan sikap Tuan. Aku paham makna penting yang Tuan suguhkan. Hati ini juga terketuk untuk mengontrol setiap dedikasi yang terbius intruksi. Namun, ada satu yang masih bersujud retak tak terpungkiri, ia adalah desiran-desiran ranum yang ingin dijumpai.

Al: "Sederhana, senyumlah."

Az: "Baik."

Al: "Jika lama tak hadir itu karena sedang lelah."

Az: "Lelah apanya?"

Al: "Raga dan pikiran."

Az: "Hatinya?"

Al: "Jika kaitannya dengan rasa, Alhamdulillah hati dan pikiran saya baik-baik saja."

Az: "Tuan ... bagian-bagian dari organnya raga dicintai dengan luar biasa ya, jangan sampai buat organ lain kecewa."

Al: "Iya."

Az: "Jangan iya aja dong jawabnya."

Al: "Sesuatu yang sudah jelas nggak perlu diperjelas, Az. Entar dibilang marah lagi kalau saya omelin dengan kalimat yang sama. Katanya sudah paham dengan apa yang teruntai dari saya.

Sehat-sehat ya Pangeran Madaharsaku. Aku sudah sakit, kamu jangan! Nggak perlu keterlaluan dalam mencapai tujuan. Beri cinta kasih yang lebar terhadap organ-organ di dalam ragamu. Jangan kira hanya hati dan pikiran yang perlu tenang, tapi ragamu juga butuh akan itu.

Maaf, niatku menuliskan puisi setiap hari belum terlaksana lagi. Antara keadaan yang sedang memporak-porandakan hati dan kamu yang ingin aku temui secara pasti. Terkadang, karena tuntunan batin yang memberi bisikan akan melepuhnya kerinduan itu ... membuatku tak berdaya untuk berbicara dalam prosa yang hanya menjadi fatamorgana.

Bernostalgia jangka pendek, mengayun bait per bait dari layar ke layar. Tatapan hurufnya sungguh mempesona, membeberkan indurasmi yang tak kalah dengan bintang berseri.

Azizah Bounty

Ponorogo, 14 Juli 2024

Tusukan Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang