Raya melangkah masuk ke rumah sakit, matanya menangkap deretan bangku panjang yang dipenuhi oleh orang-orang dengan wajah cemas. Aroma obat-obatan dan desinfektan menusuk hidungnya, mengingatkannya pada saat-saat terburuk dalam hidupnya. Ia berjalan dengan langkah gontai, jantungnya berdebar kencang, seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.
"Nona, mau ke mana?" tanya seorang perawat dengan ramah, mendekatinya.
"Saya mau ke bagian pendaftaran," jawab Raya, suaranya sedikit gemetar.
"Silakan, ruang pendaftaran di sebelah sana," kata perawat, menunjuk ke arah kanan.
Raya mengangguk, matanya mencari sosok yang ia cari. Ia berjalan dengan langkah gontai, matanya tertuju pada deretan pintu yang bertuliskan nama-nama ruangan.
"Nona, butuh bantuan?" tanya perawat, mendekatinya lagi.
"Tidak, terima kasih," jawab Raya, berusaha untuk tersenyum.
Raya melangkah masuk ke ruang pendaftaran, matanya tertuju pada meja yang dipenuhi oleh berkas-berkas dan komputer.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang petugas pendaftaran dengan ramah.
"Saya mau mendaftar untuk pemeriksaan," jawab Raya, suaranya sedikit gemetar.
"Nama dan alamat lengkap, Nona?" tanya petugas pendaftaran.
Raya memberikan nama dan alamat lengkapnya. Petugas pendaftaran mengetik data tersebut ke komputer dan memberikan sebuah nomor antrian.
"Silakan tunggu di ruang tunggu, Nona. Nomor antrian Anda 23," kata petugas pendaftaran.
Raya mengangguk, matanya tertuju pada nomor antrian yang ia pegang. Ia berjalan dengan langkah gontai, matanya tertuju pada deretan kursi di ruang tunggu.
Ia duduk di salah satu kursi, matanya tertuju pada orang-orang yang datang dan pergi. Ia merasakan sebuah rasa asing, sebuah rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.
"Nomor antrian 23, silakan ke ruangan 3B," kata seorang petugas pendaftaran.
Raya berdiri, matanya tertuju pada nomor antrian yang ia pegang. Ia berjalan dengan langkah gontai, matanya tertuju pada deretan pintu yang bertuliskan nama-nama ruangan.
Ia menemukan ruangan 3B, dan melangkah masuk. Di dalam ruangan, ia menemukan seorang dokter yang sedang duduk di meja.
"Selamat pagi, Nona. Silakan duduk," kata dokter, tersenyum ramah.
Raya duduk di kursi di depan meja dokter, matanya tertuju pada dokter yang sedang memeriksa berkas-berkas.
"Jadi, Nona Raya, ada keluhan apa?" tanya dokter.
"Dokter, saya... saya merasa tidak enak badan," jawab Raya, suaranya sedikit gemetar.
"Sudah berapa lama, Nona?" tanya dokter.
"Sudah beberapa hari," jawab Raya.
"Apa saja gejala yang Nona rasakan?" tanya dokter.
Raya menceritakan gejala-gejala yang ia rasakan.
"Dari gejala yang Nona ceritakan, saya akan melakukan pemeriksaan fisik dan tes darah untuk mengetahui lebih lanjut," kata dokter.
Dokter melakukan pemeriksaan fisik secara teliti, memeriksa tekanan darah, denyut nadi, dan kondisi fisik lainnya. Setelah itu, dokter meminta Raya untuk memberikan sampel darah untuk dianalisis. (Ngasal y ges y)
"Tes darah ini akan membantu kita untuk mengetahui kondisi kesehatan Nona lebih lanjut," jelas dokter.
Raya memberikan sampel darahnya, dan dokter mengirimnya ke laboratorium untuk dianalisis. Setelah beberapa saat menunggu, hasil tes darah keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me Raya
Teen FictionRayana Andria, gadis cuek yang meninggal karena kecelakaan namun bukan nya ke surga atau neraka dia justru bertransmigrasi ke dalam sebuah novel dan menjadi figuran,dia juga di temani oleh sistem yang selalu membantu nya. Taraya damara, gadis cantik...