Chapter 1 | Aquamarine🌷

17 4 0
                                    

Pagi ini, aku dibangunkan oleh suara nenek yang mendayu lembut di telingaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini, aku dibangunkan oleh suara nenek yang mendayu lembut di telingaku. Suara lembut itu cukup untuk membuatku lengah dan tertidur kembali, jika seorang anak kecil berkucir dua tidak merangkak ke badanku dan mulai melompat lompat. Ia menyuarakan teriakan semacam, "Ayo bangun, kak! Ini sudah jam 12 siang! Kau ketinggalan sarapan!"

Aku lantas bangun dan berteriak saat kaki kecil yang melompat itu menginjak perutku, seketika anak perempuan tujuh tahun itu terjatuh. Dia mengaduh sebelum menatapku dengan berkaca kaca. "Aku nggak papa." Nenek Sina yang dari tadi menunggu di ambang pintu hanya tersenyum.

Sore itu aku ingin sedikit menjauh dari anak kucir dua itu, alasannya sepele, aku merasa dia sedikit menyebalkan beberapa minggu ini. Aku sangat ingin mengajaknya bermain dengan teman-teman yang lain, namun dia selalu menolak, sungguh aneh. Di malam harinya dia akan memintaku menceritakan permainan kita siang tadi dan mengoceh banyak soal kenapa dirinya tidak diajak, padahal sudah jelas aku menawarinya berkali kali!

Kuputuskan hari ini, setelah pagi perutku terinjak sampai mual, aku akan menjauhinya untuk beberapa hari. Menjauhi anak dengan gigi kelinci dan nama seperti permen itu tidak akan membuatnya mati. Namun rupanya dugaanku salah, dia menangis dan mengadukan aku ke Nenek Sina.

"Anne, cobalah berbicara dengan Candy, dia sudah menangisimu sejak kemarin," ucapnya saat sedang menyuapi diriku makan siang. Kerut tanda penuaan itu tercetak jelas. Nenek ini umurnya sudah 60 tahun, entah dengan motivasi apa beliau masih ingin bekerja di panti asuhan terisolasi seperti ini, terutama orang tua seperti Nenek Sina yang patut merayakan hari tuanya dengan anak serta cucunya.

"Aku sedang tidak ingin berbicara dengannya." Satu suapan nasi dengan wijen hitam masuk ke mulutku. Hidungku menangkap bau sangit selepas mengunyah makanan tersebut sampai hancur lalu menelannya.

"Nek, apa yang kau masukkan?" Diam-diam aku melirik ke mangkuk putih itu dan pemandangan setelahnya akan menjadi trauma mendalam seumur hidupku. Nenek hanya tersenyum, lalu berkata lirih, "Sudahlah, makanlah yang banyak agar tumbuh sehat."

Bagaimana aku tumbuh sehat jika rupanya ia mencampurkan serangga ke dalam makananku?! Wijen hitam itu palsu, yang ada hanyalah serangga hitam kecil yang sangat banyak. Sebagian dari mereka aku tahu pasti, sebab aku pernah melihatnya di kebun, ditangkap oleh salah satu teman laki lakiku untuk mengerjai anak perempuan. Sebagian lagi aku pernah sekali melihatnya bertalian di helai rambut teman perempuanku lalu menghisap darahnya.

Jika tidak salah... mereka menyebutnya...

Aku memuntahkan seluruh makananku, ku paksa memasukkan dua jari dalam mulutku. Tenggorokanku sampai sakit karena aku paksa mengeluarkan segala makananku, bahkan yang belum sempat tercerna sekalipun. Aku tidak sempat melihat bagaimana raut wajah nenek karena setelah itu aku langsung berlari menuju ibu panti yang kebetulan menyapu halaman. Aku menangis, menjerit. Yang aku tahu Nenek Sina tidak mencegahku, bahkan tidak menghampiriku setelah itu.

ANNE'S DIARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang