Hangat sentuhannya pernah mengingatkanku pada lembut kapas di musim kemarau. Bahkan aku sempat terlena dan mengaguminya. Namun, dia yang dulu kucintai kini telah berubah. Sifatnya tak jauh beda dengan binatang buas. Dia datang dari semak-semak, menerkam, mencabik, kemudian pergi ketika rasa laparnya sudah terpuaskan.
****
Namaku Anggraini, gadis berusia 15 tahun yang hidup di desa sekitaran gunung Lawu. Hari ini adalah tanggal 20 mei tahun 2001. Dan besok ditanggal 21 mei 2001 mungkin aku akan segera ditemukan oleh warga untuk selanjutnya dimakamkan. Karena tadi pagi tepat sebelum adzan subuh aku baru saja meninggal dunia. Dibunuh oleh orang yang kuanggap calon suamiku sendiri.
Dan sekarang disinilah aku, menjadi sebujur mayat yang hampir kaku tertelungkup dibawah pancuran curuk gunung Lawu. Kubiarkan rambut panjang ku terurai bersama aliran air yang begitu deras dan dingin. Jari-jemariku terlihat mulai menghitam. Dan kulit tubuhku yang melunak karena terendam air seharian mulai terkelupas sedikit demi sedikit. Bahkan sekarang mataku yang sebelah kiri sudah tidak ada lagi, seekor kepiting air tawar baru saja mengcongkel mataku dan membawanya lari ke dalam lubang.
Ini sudah jam sepuluh malam. Tidak biasanya curuk ini akan sepi seperti hari ini. Biasanya banyak yang akan mandi atau mencuci baju, terkadang pula ada yang memasang bubu perangkap ikan. Tapi, hari ini tak satupun ada orang yang datang. Membuat aku harus menunggu lebih lama lagi untuk bisa ditemukan.
Sepinya malam ditemani gemericik air curug yang mengalir dan suara gemerisik ranting-ranting pohon yang tertiup angin membawa suasana disekitar curug ini semakin syahdu. Tentu saja disini dingin sekali, aku tidak lagi kuat rasanya menahan kesakitan ini. Aku mulai mengeluarkan suara tangisan kecil. Kemudian aku menggumamkan beberapa syair kidung yang ku hapal dalam bahasa Jawa.
"
Tak lelo.. lelo.. lelo.. ledung..!!
(Mari kutimang-timang engkau anakku)Cup menenga, aja pijer nangis
(Cup cup, jangan menangis terus)Anakku, sing ayu rupane
(Anakku yang cantik parasnya)Yen nangis, ndak ilang ayune
(Kalau menangis nanti hilang cantiknya )"
Sudah dua jam lebih aku menyayikan tembang itu. Merintih dalam kesakitan dan masih menunggu orang yang akan menemukan jasadku. Mungkin belum ada yang menyadari kepergianku. Tapi aku rasa memang tidak akan ada yang peduli jika aku hilang atau bahkan mati sekalipun seperti sekarang ini, karena memang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku di desa ini hidup sendirian. Emak bapakku sudah meninggal dunia sejak aku masih bayi karena sakit-sakitan. Kemudian aku dirawat oleh Bang Tarjo, tetanggaku. Dia yang setiap hari memberiku makan, merawatku, menyekolahkan aku, dan bahkan memandikanku sewaktu masih bayi.Lama kami bersama, membuat aku semakin nyaman dengan perhatiannya. Aku tidak menganggap bang Tarjo sebagai pengganti orang tuaku yang telah mati, tapi aku mencintainya seperti dia adalah milikku yang terakhir.
Lantas dia pernah berkata kepadaku, "Aku juga mencintaimu Anggraini, di umurmu yang ke tujuh belas nanti aku berjanji akan menikahimu. Tapi itu terlalu lama, bolehkah sekarang aku meminta imbalanku terlebih dahulu atas kebaikan-kebaikanku selama ini kepadamu. Aku ingin menidurimu layaknya suami istri..!".
Tentu saja aku menolaknya. Tidak sepantasnya hal itu dilakukan meskipun kami saling mencintai. Belum lagi Bang Tarjo juga masih memiliki istri sah. Aku juga manusia yang memiliki hati nurani. Apalah nanti kata orang jika tau aku mengandung diluar nikah karena dihamili oleh suami orang. Dan tentu saja itu akan menyakiti perasaan istri sah Bang Tarjo juga.
Aku ingin sebelum menikahiku Bang Tarjo bisa berpisah dengan istri sahnya secara baik-baik. Tapi itu rasanya tidak mungkin, karena istri Bang Tarjo yang baru dinikahinya dua tahun lalu itu adalah anak Pak lurah di desa ini. Keluarga terpandang yang kaya raya dan pemilik utama paguyuban wayang kulit yang tersohor. Tentu saja keluarga Bang Tarjo yang berasal dari kalangan biasa sangat menghormatinya. Bahkan kehidupan keluarga Bang Tarjo juga banyak dibantu oleh pihak keluarga istrinya.
Mungkin jika aku adalah gadis yang kaya raya, Bang Tarjo akan memilihku untuk dijadikan istrinya. Tapi hidup ini memang tidak pernah adil. Kita yang tulus selalu kalah dengan mereka yang memiliki uang. Bahkan jika kita saling mencintai sekalipun, tuntutan hidup dan tuntutan keluarga tidak akan pernah mengizinkan kita untuk bersatu.
Dan kemarin malam itu aku tidak tau apa maksud Bang Tarjo memintaku untuk menemuinya di Curug ini. Sewaktu aku berpapasan dengan dia setelah selesai mandi, dia melihatku tajam dan setelahnya berbisik kepadaku untuk menemuinya di Curug ini jam tiga pagi. Aku menurutinya saja. Lagi pula aku pikir Bang Tarjo tidak mungkin menyakitiku.
Jam setengah tiga pagi aku keluar dari rumah dengan membawa lampu petromak. Menyusuri jalanan setapak diantara semak-semak untuk bisa mencapai Curug yang Bang Tarjo katakan. Disana aku menunggu sebentar sebelum akhirnya Bang Tarjo muncul. Seperti biasa, dia terlihat tidak banyak bicara, dingin, tinggi tegap, gagah semampai. Dan rupa parasnya yang bagus, serta perawakannya yang penuh wibawa selalu mampu untuk membuat hatiku kebyar-kebyar.
Dia membawa seutas gulungan tali tambang. Aku pikir dia akan bersiap untuk memperkosaku dini hari ini. Aku mulai mendekap tubuhku erat-erat. Antara takut dan khawatir bercampur aduk, tapi entah kenapa aku tidak berusaha untuk melarikan diri. Bang Tarjo tidak berkata sepatah katapun ketika dia meraih tanganku, melepaskan dekapan lenganku dari tubuhku sendiri.
Seolah terhipnotis dengan auranya yang menguasai kewarasanku. Aku pasrah saja. Dia mulai melilitkan tali tambang yang dibawanya ke kedua pergelangan tanganku. Lantas mengikatkannya menyatu dengan kedua kakiku. Dia berjalan berbalik memutar membelakangi punggungku. Mungkin sedang melepaskan pakaiannya, atau bersiap-siap untuk melancarkan terkamannya ke tubuhku.
Aku mendengar dia bergumam sesuatu namun aku tidak paham betul apa yang dia ucapkan. Dia tidak sedang berbicara dengan orang lain, tapi dia mengucapkan kalimat yang cukup panjang dengan suara lirih-lirih.
Dan seketika benda berat dan tajam yang sepertinya adalah batu kali menghantam tengkukku. Aku tersungkur kebawah aliran air curug diantara bebatuan besar.
Tidak berhenti disitu, Bang Tarjo lantas menghampiri tubuhku yang sudah tidak bergerak itu dan masih menghantamkan batu yang dibawanya berkali-kali ke kepalaku. Aku bisa menyaksikan semua kejadian itu bukan karena aku masih sadar, tapi karena sebenarnya pada hantaman pertama aku sudah langsung meninggal dunia. Sehingga arwahku yang baru saja lepas dari jasadku mampu melihat semua yang telah dilakukan Bang Tarjo kepadaku.
Dia membelai jasadku, terlihat ada penyesalan di raut wajahnya. Dia tertunduk lemas setelah membunuhku, bersimpuh sebentar dihadapan jasadku, kemudian dia mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Memotong jari kelingking tanganku yang sebelah kanan, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. Dan setelah itupun dia pergi.
Aku menyaksikan semua itu diantara percaya dan tidak percaya. Aku tidak menyangka Bang Tarjo telah melakukan hal sekeji itu terhadapku. Dan aku sampai sekarang belum tau hal apa yang membuatnya melakukan semua ini. Sampai nanti aku akan mencari tau semuanya ini sendirian, aku bersumpah tidak akan bisa tertidur didalam liang lahatku dengan tenang.
#Hallo..!! Semoga suka dengan ceritanya..!! Next post lanjutan kisahnya Si Anggraini akan segera dipublikasikan ya... !! Terimakasih..!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau Dibawah Batu Nisan
HorrorJangan ditanya bagaimana murka sesosok arwah yang sedang jatuh cinta. Dia yang dulu diabaikan ketulusannya, kini dia menjelma menjadi wujud yang begitu mengerikan untuk dapat membalaskan dendamnya. Dan dengan cara apapun berusaha merebut kembali apa...