36. Rahasia Bukan Rahasia

3.6K 227 8
                                    

Arfan merasa meja makan di rumah mamanya terasa layaknya neraka. Panas. Terlalu panas sampai dia bahkan kesulitan untuk menelan apa pun.

Makanan di depannya saja harus dia paksa agar bisa masuk ke dalam mulutnya. Agar bisa dia telah. Semua itu karna seseorang yang sejak tadi sok akrab dengan istrinya. Banyak tanya dan terlalu cerewet, menurutnya. Padahal dia kenal betul sepupunya itu. Dia tidak terlalu suka mencari tahu, tidak suka banyak bicara. Tapi, apa ini? Dia terlalu berlebihan untuk ukuran seorang Akas.

"Jadi, kamu juga pintar masak, La?"

"Mbak Silla ini bukan cuman pinter masak, Mas. Tapi bikin kue juga. Pokoknya semua kue buatannya pasti nggak akan pernah gagal."

"Ouh, ya? Wah! Mas jadi pengen nyobain kue buatan kamu, La."

Tak!

Telinga Arfan terasa panas. Pun kobaran api yang sejak tadi membakar tubuhnya. Kini semakin terasa membakar seluruh kepalanya. Membuatnya terasa panas bukan main.

Karna itu dia meletakkan kasar gelasnya. Membuat semua pasang mata menatap ke arahnya. Hanya sejenak. Setelahnya mereka kembali sibuk.

Arfan melirik ke arah wanita yang duduk di sampingnya. Yang sejak tadi menikmati makanan di piringnya dengan tenangnya. Dia sama sekali tidak peduli dengan kebisingan yang Arfan ciptakan. Dia bahkan sama sekali tidak menoleh atau bahkan melirik ke arahnya. Membuat Arfan kian merasa kesal.

"Ternyata wanita pilihan tante Gina nggak salah, ya? Tan, aku juga mau dong dicariin istri kayak Silla." ucapan itu berhasil membuat Arfan menatap tajam sepupunya itu.

Gina tertawa. Renyah. "Ada-ada aja kamu, Kas! Ya mana ada. Wanita yang kayak menantu Tante ini langka. Nggak ada duanya."

"Yah, sayang banget dong. La, kalau kamu udah bosen sama Arfan jangan sungkan hubungi, ya?" ada tawa renyah memenuhi meja makan. "Aku nggak keberatan kok buat-"

"Arfan udah kenyang, Ma!" Arfan langsung memundurkan kursinya. Bangkit. Membuat ucapan Akas terhenti sejenak. Dia diam melihat wajah sepupunya itu.

"Wah, Fan. Lo nggak cemburu, kan? Gue cuman becanda."

"Nggak, santai." meski sebisa mungkin Arfan berbicara santai. Tapi, tetap saja suaranya terdengar dingin. "Lagipula, mana mau bini gue sama lo!" dia melirik ke arah istrinya, yang berada di sampingnya. Yang masih begitu fokus dengan makanannya. Padahal semua orang kini tengah menatap ke arahnya. Mereka bahkan sampai menghentikan kegiatan makannya.

"Sayang?"

Wanita itu baru menoleh begitu mendengar Arfan memanggilnya. "Mau aku buatin susunya sekarang?"

"Nggak papa, Mas. Nanti aku buat sendiri aja."

"Mau yang coklat kayak biasa?" Arfan seakan tak mendengar penolakan itu. Membuat Arsila pada akhirnya menyerah.

"Boleh."

"Tunggu sebentar." Arfan sempat mengusap puncak kepala istrinya sebelum berbalik. Pergi. Membuat semua orang sejenak terdiam.

Masih terlihat tidak percaya kalau Arfan bisa bersikap semanis itu. Kalish yang melihat kakaknya mendadak berubah pun senyum-senyum sendiri.

Ekor matanya melirik ke arah samping. Ke arah pria yang duduk tepat di sampingnya.

****

Arsila tidak tahu apa yang terjadi pada suaminya itu. Tapi, dia tahu jika ada yang tidak beres dengan pria itu.

Dia datang dengan segelas susu. Hal yang memang sering pria itu lakukan akhir-akhir ini.

Suaminya itu, memang tidak pernah lupa membuatkan susu sebelum mereka tidur. Menemaninya makan malam jika dia terbangun dan kelaparan. Padahal, Arsila tidak pernah membangunkan pria itu. Dia akan terbangun saat Arsila melepaskan pelukan pria itu diam-diam. Hati-hati. Tapi, pria itu seakan mudah sekali terbangun karna pergerakan kecilnya.

Sang Pemilik Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang