Ini bukanlah kisah indah yang layak diceritakan, tapi inilah hidupku -sebuah perjalanan panjang yang dipenuhi kegelapan dan darah.
Masa kecil umumnya dipenuhi tawa dan kasih sayang, tapi yang kuingat dalam masa kecilku hanyalah penghinaan dan penolakan. Keluargaku membuangku seperti sampah yang tak berguna. Aku masih ingat tatapan jijik di mata mereka, seolah keberadaanku adalah sebuah kesalahan yang tak termaafkan. Mereka menyingkirkanku tanpa belas kasihan, meninggalkanku sendirian menghadapi dunia yang kejam.
Masa remajaku tak lebih baik. Di sekolah, aku menjadi sasaran empuk bagi para penindas. Mereka menjadikanku bahan lelucon, memukuliku, menghinaku setiap hari. Aku belajar untuk menyembunyikan luka-lukaku baik fisik maupun mental. Setiap malam aku bertanya-tanya, mengapa hidupku harus seperti ini? Apa salahku hingga dunia begitu membenciku? Tentu saja, tidak akan ada yang menjawab. Mungkin dewa juga sudah menyesali keberadaanku di dunia ini.
Namun, semua itu ternyata hanyalah permulaan dari neraka yang sesungguhnya. Tepatnya pada hari dimana langit terbelah dan memuntahkan ribuan sosok yang tak masuk akal. Para Angel - makhluk yang seharusnya suci dan penuh kasih - turun ke bumi membawa kehancuran. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mereka membantai manusia-manusia tanpa ampun. Teriakan kesakitan, tangisan putus asa, dan bau anyir darah memenuhi udara.
Di tengah kekacauan itu, entah bagaimana, aku harus bertahan. Dengan hanya berbekal plang rambu lalu lintas yang kutemukan, aku mencoba melawan. Satu Angel jatuh, lalu dua, tiga... hingga akhirnya sepuluh Angel tewas di tanganku. Aku tak mengerti bagaimana aku bisa melakukannya. Mungkin itu keajaiban, atau mungkin kutukan. Yang pasti sejak saat itu, hidupku tak pernah sama lagi setelah sekelompok pria berpakaian formal menyeretku ke dalam mobil mereka. Membawaku ke sebuah fasilitas bernama Night Crow yang telah mengumpulkan sepuluh anak selama satu bulan terakhir sejak invasi. Tanpa memberi penjelasan apalagi sambutan, sepuluh dari kami dilempar ke kerumunan para Angel yang mana menyisakan diriku sendiri yang lagi-lagi bertahan hidup.
Setelah seleksi mengerikan itu berakhir, aku dipindahkan ke markas utama yang masih baru dan bertemu dengan anak-anak yang mungkin seusiaku. Disana, aku bertemu pemuda menyebalkan yang saban hari berteriak dan menyeretku kemana-mana. Aku bertanya-tanya sampai kapan pemuda itu akan tertawa riang di tengah peliknya kekacauan. Tapi di kemudian hari aku menyadari bahwa tawa riang pemuda itulah yang sudah menyelamatkan sisi kemanusiaanku. Atas aksi bodohnya, aku memiliki tujuan baru dalam hidupku untuk membunuh para Angel itu sampai akhir hayatku.
Dengan dunia yang semakin hancur, aku berusaha untuk terus menjadi semakin kuat. Namun, dengan setiap kali keinginan bertambah kuat muncul di tengah pertarungan, semakin banyak pula kusaksikan rekan-rekanku meregang nyawa. Setiap kematian mereka membuat kepalaku seolah dihantam dengan palu godam sekaligus menghancurkan jiwaku perlahan-lahan. Aku ingin menangis, aku ingin berteriak, tapi air mataku telah lama mengering. Aku mengeringkannya dengan kalimat 'mereka telah mati sebagai pahlawan'. Aku tahu itu omong kosong. Tapi dengan apalagi aku bisa menjaga kewarasanku sebagai manusia setelah pemuda merah itu tidak lagi disisiku?
Penghiburan fana seperti itu jelas tidak cukup untuk mengenyahkan rasa frustasi dan putus asa yang kian menumpuk dalam diriku. Mengapa harus aku yang bertahan? Sampai kapan aku harus menyaksikan semua ini? Setiap malam, di dalam mimpi buruk tak berkesudahan, aku melihat wajah-wajah mereka yang telah pergi. Jeritan mereka yang tak sempat kuselamatkan seolah terdengar tepat di samping telingaku dan melontarkan kata yang sama lagi dan lagi.
Balaskan dendam kami!
Bunuh para biadab itu!
Hiduplah untuk kami!
Hidupku ... hidup yang sejatinya adalah milikku seorang. Entah sejak kapan telah menjadi tonggak harapan hidup semua orang. Seolah dunia telah sepakat menunjukku sebagai orang yang bertanggung jawab atas ribuan nyawa yang masih bertahan. Meski aku menyadari telah didesak oleh ribuan pasang tangan tak kasat mata, aku tidak berdaya. Aku tak bisa berontak. Aku telah diikat oleh rantai bernama "Ketua Divisi 1 Night Crawler" entah sejak kapan.
Semakin hari, aku semakin terbiasa dengan pertumpahan darah. Aroma anyir yang dulu membuatku mual telah menjadi bagian dari keseharianku. Tentu saja tidak hanya aku, banyak rekanku yang tersisa juga sudah terbiasa. Hanya saja, aku masih tidak bisa terbiasa dengan sorakan kemenangan dari para rekanku saat aku kembali dengan kepala Arcangel ditanganku. Mereka berbahagia disaat hal itulah yang membuatku takut. Aku mulai merasa jijik pada diriku sendiri. Apakah aku masih manusia? Ataukah aku telah berubah menjadi monster?
Di tengah kegilaan ini semua, kadang aku dengan naifnya membayangkan sebuah kehidupan yang normal. Bagaimana rasanya memiliki keluarga yang menyayangiku? Bagaimana rasanya memiliki teman-teman di sekolah, tertawa bersama tanpa perlu khawatir akan serangan mendadak? Aku ingin merasakan hangatnya pelukan seorang ibu, mendengar nasihat bijak seorang ayah. Aku ingin mengalami cinta pertama, merasakan debaran jantung saat bertatapan dengan seseorang.
Ketika aku membayangkan cinta, entah mengapa wajahnya malaikat pengkhianat itulah yang muncul dalam benakku. Aku tak tahu mengapa, tapi senyum canggung miliknya itu terasa manis seolah mampu melelehkan semua kegelapan dalam diriku. Terasa seperti ia mengulurkan tangannya padaku, menawarkan kehangatan yang selama ini tak pernah kurasakan. Ah, betapa aku ingin meraih tangan itu, memeluknya erat dan tak pernah melepaskannya.
Tapi itu semua hanyalah mimpi, bukan? Tangan yang telah ternoda darah sepertiku, mungkinkah bisa meraih kebahagiaan? Mungkinkah aku bisa mencintai dan dicintai? Layakkah aku, bahkan hanya untuk menyebut namanya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang?
Mungkin itu adalah pertama kalinya aku tersenyum dengan tulus sejak entah berapa lama. Karena akhirnya, akhirnya aku bisa beristirahat. Akhirnya, aku bisa terbebas dari dunia yang tak pernah menginginkanku ini.
Terima kasih, malaikat. Terima kasih karena telah mengakhiri penderitaanku. Terima kasih karena telah memberiku kedamaian yang selama ini kucari. Dan maafkan aku, karena dalam dunia yang berbeda, mungkin kita bisa menjadi sesuatu yang lebih dari ini. Jika memang ada keajaiban seperti kehidupan selanjutnya, aku hanya ingin terlahir menjadi seorang manusia yang layak untukmu seorang. Tidak terlumur darah, tidak terbungkus dosa, dan tidak memikul karma. Aku hanya akan menjadi manusia yang mengikatmu dengan sumpah suci, memelukmu hingga kau sesak, dan menciumi pipimu hingga kau kesal.
Aah ... bukan mustahil manusia sepertiku tidak layak diberi kesempatan kedua. Aku pasti benar-benar sudah tidak layak dilahirkan kembali sebagai manusia.
Benar. Lagipula sekarang ... semuanya sudah berakhir. Setidaknya, aku bersyukur karena aku bisa memelukmu dengan benar untuk terakhir kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nighty Rain || SoraMafu [ END ]
Короткий рассказ🌘 Utaite Fanfiction 🌒 Special Edition [ Nightember] Hanya sebuah masa depan dunia yang menutup akhir dari kisah lama. Utaite Fanfiction Main Pair : SoraMafu ©All right received ©Original story by me, iyey :V