Chapter 87

1.3K 197 49
                                    

Entah sudah berapa menit Boy duduk diam sambil memangku mayat kepala Petai.

Yang dipangku sudah tenang.

Yang memangku malah melamun.

Gempa yang sempat melihat Petai dan Boboiboy terjatuh membuat jantungnya juga hampir jatuh.

Dia tidak mengkhawatirkan Petai, dia lebih mengkhawatirkan Boboiboy. Namun melihat Boboiboy yang menangis sesenggukan sambil memangku Petai membuat hatinya meringis.

"Aabangggg. . haaa. . . aaaa. . aaaAAAAA!!!" jerit Boboiboy.

Makin memeluk mayat Petai, tak peduli dengan noda darahnya yang mengecat kulit dan bajunya.

"Aku mau kabur karena abang, aku mau hidup karena abang! KALAU GAK ADA ABANG KEK MANA AKU MAU HIDUP HA?!" marah Boy sendiri.

Gempa yang menyaksikan semua itu diam. Terkelu lidahnya untuk mengatakan satu patah kata pun. Tak sanggup melihat kondisinya lagi, Gempa memutuskan untuk mendekatinya pelan-pelan.

"Kalau gak ada abang, aku harus pulang ke mana. . ?" lirih Boy.

". . . . . . . . ."

Gempa berjongkok di samping belakang Boboiboy, dengan perlahan menepuk bahunya.

Boy terperanjat bukan main.

Dia kira hidupnya juga dah mau berarti saat itu juga, tapi saat berbalik, dia menemukan Gempa.

Ah. . . Gempa. Boy melihatnya mengejar mereka saat jatuh tadi.

Betapa bodohnya.

Kalau aja jatuhnya lebih lambat dikit, pasti Gempa sudah bisa menolong mereka kan? Menolong PETAI kan?!

Boy menepis tangan yang hendak merangkulnya.

"Lambat. Pas cari aku cepat. Tapi pas cari aku sama abang enggak!" kata Boy menyalahi Gempa.

Gempa hanya bisa mengatup mulutnya.

Gempa tau kalau dia membalas Boboiboy, sudah pasti reaksinya akan lebih parah dari yang sekarang. Makanya Gempa tidak mau memperkeruh situasi. Gempa mau membawa Boboiboy ke tempat aman secepatnya dengan cara yang baik-baik kalau bisa.

Masih dengan tangis sesenggukannya, Boy membuang muka dari Gempa. Tidak melihat wajah Petai lagi tapi tangannya yang terkulai tak bernyawa.

"Andaikan kau datang lebih cepat. . . abang gak mungkin. . . gak mungkin. . ."

"Adik. . ."

". . . . . . . ."

Gempa coba merangkulnya lagi.

Kali ini tangannya dibiarkan bertengger di kedua bahu Boboiboy. Perlahan, Gempa menyandarkan Boboiboy ke bidang dadanya sembari mengelus tepi rambutnya. Menenangkannya meski itu percuma.

Hatinya hampa.

Kepalanya gak bisa berpikir lagi.

Boy mau pasrah.

Kali ini beneran pasrah.

No ecek-ecek.

No main-main.

Pasrah.

Otaknya tidak mau menerima informasi tentang kematian Petai.

Gak mau.

GAK MAU. . .

"Nnggggaa. . . haaa-" Boy ambruk lagi di pelukan Gempa, betul-betul merengek hingga air matanya terus keluar dengan ingusnya.

Wajahnya jadi kotor, penuh dengan tangisan jeleknya. Tapi sekali lagi pertanyaannya, apa dia peduli?

Dibandingkan dengan kematian Petai, Boy tak pernah sekali pun sesakit ini.

Aku Adik dari Sekelompok Mafia?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang