Cinta Putih

17 3 0
                                    

Bramantyo

Dulu aku melihatnya tersenyum di saat dirinya terduduk di kursi panjang sekolahan dengan seekor kucing yang ada di pangkuannya. Tangannya terus mengusap bulu-bulu halus kucing berwarna putih itu, sesekali mengajaknya berbicara.

"Besok aku bawakan makanan ya. Kalau sekarang aku gak bawa makanan."

Meong... Meong

"Oh sudah gak laper lagi ya?"

Meong... Meong

"Maaf ya."

Hanya pembicaraan singkat itu yang masih terekam jelas di dalam pikiranku.

Dan perempuan itu sekarang ada di dalam dekapanku, ya, selang tujuh tahun setelah masa SMA aku meminangnya. Perempuan yang bernama Sheren, perempuan yang mampu mengubah jalan hidupku.

"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya saat aku terus memadanginya, aku tersenyum dan mengangguk. "Baik, bahkan jauh lebih baik."

Setelah tiga hari tidak berjumpa dengannya, pagi ini aku bisa menemuinya di rumah dimana rasa rinduku yang sudah memuncak hilang seiringi pertemuan ini.

"Aku mencintaimu." Ucapku dengan mengecup bibir manisnya sesekali menyesapnya lebut. "Apakah ucapanmu seperti ini akan sampai kita tua?"

Aku pastikan iya, karena sejak pertemuan itu di dalam hatiku hanya ada nama Sheren. "Ya, meskipun kamu sudah tidak cantik dan sexy lagi." Jawabku dengan bibir yang tersenyum.

"Aku harap." Sheren memasukan kepalanya ke dalam dekapanku. Pernikahan kami sudah berlangsung sepuluh tahun dimana selama ini masalah momongan menjadi ujiannya.

Sebenarnya selama ini aku sudah ikhlas jika kami tidak memiliki anak, karena yang pertama kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Dimana semua metode sudah kami jalankan, dan Tuhan berkata lain.

Namun saat melihat air mata Sheren yang terjatuh setiap dirinya mencoba menggunakan tespek membuat aku sadar bukan hanya aku yang sedih akan ujian ini tapi juga Sheren.

Bahkan setelah kegagalan IVF kami yang kedua, Sheren menangis sejadinya dan mengatakan hal yang menurutku melukai hatiku. Aku tahu saat itu kami tengah berduka, tapi mengatakan hal itu juga menggores luka di relung hatiku.

"Aku gagal Mas. Aku gagal." Satu garis yang tercetak di alat itu, membuat aku memeluk tubuh Sheren. "Mas... Mas... Coba kamu nikah lagi."

Suasana yang begitu hancur itu bertambah hancur dengan ucapan Sheren, disini aku bukan laki-laki murahan yang hanya ingin memiliki anak. Tetapi aku juga ingin bisa mempertahankan mahligai rumah tangga yang sudah aku bangun. Tidak mudah sampai di titik ini, dimana kestabilan sudah aku dapatkan.

"Jangan asal ngomong sayang, kita memiliki anak atau tidak tetap aku akan ada disini bersama kamu."

"Tapi Mas... Aku gak bisa hamil."

"Kita usaha lagi."

"Sampai uang kamu habis?" Aku mengangguk yakin, toh uang bisa dicari. "Aku gak mau egois Mas, kamu berhak mendapatkan apa yang kamu harapkan."

Tanpa sepatah kata aku pergi meninggalkan dirinya, aku takut jika kemarahanku akan mendatangkan ucapan yang melukai Sheren

Hingga sore hari akhirnya pikiranku bisa tenang, dan mencoba berkomunikasi dengannya.

"Anak itu anugerah, dan pernikahan ini juga anugerah. Jika sekarang aku memiliki pernikahan ini, maka aku tidak akan menuntut Tuhan untuk mendapatkan anak. Karena bagaimanapun aku tidak akan tahu ujian apa yang akan aku peroleh jika memiliki anak."

Short Story II (Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang