12. Masalah di Jakarta

13 4 0
                                    

Nakala's POV

***

Katanya, jangan sesekali menyimpan perasaan ke teman perempuanmu, karena endingnya tidak akan pernah sesuai dengan harapan.

Kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku sejak Candra bicara begitu, entah dia mendengar kalimat itu darimana, tapi yang pasti bocah itu membuatku cukup putus asa sekarang.

Naya itu bukan gadis sembarang, parasnya yang menawan itu pasti bisa menarik 100-200 orang dalam seminggu. Naya itu gadis cantik yang pintar, apalagi dia ramah dan cukup pandai bersosialisasi.

Katanya, jenis cinta paling menyakitkan itu mencintai orang yang friendly.

Naya friendly, jika dia dekat dengan laki-laki lain, pasti satu kelas akan bilang kalau dia selingkuh dariku. Tapi nyatanya—

Oh, tunggu.

Aku dan Naya bahkan belum menciptakan hubungan apapun, bahkan sekarang, hubunganku dengannya semakin merenggang. Entah ini adalah awal, pertengahan atau akhir dari kedekatan kami, aku tidak tahu.

Hari ini tidak ada jadwal pelajaran alias jam kosong, karena guru-guru ada zoom meeting. Dari kelas satu sampai kelas tiga, semuanya ada di dalam kelas, paling tidak katanya sampai waktu istirahat.

Tapi aku yakin kalau mereka-mereka itu pasti bosan, karena aku pun begitu. Aku sedari tadi hanya duduk-duduk di dalam kelas, sedangkan yang lain sibuk mabar di bagian belakang kelas.

Para perempuan membuat circle masing-masing, yang satu di kanan yang satu di kiri, sementara aku di tengah-tengah bergelut dengan pikiranku yang tidak bisa diajak kompromi.

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jari tanganku, beberapa kali aku menoleh ke samping, menatap meja Nayaka yang kosong. Naya tidak ada, hanya ada tasnya saja, orangnya entah kemana.

Katanya, cinta tidak bisa dipaksa.

Apakah cintaku padanya terlihat di paksakan? Ataukah cintaku padanya terlihat natural tanpa ada hambatan? Ah, cinta monyet saja sudah serumit ini, apalagi cinta yang harus menjaga rumah tangga nanti.

Satu detik, dua detik, pikiranku kosong tanpa apapun. Tiga detik, empat detik, pikiranku kembali diisi oleh segelintir manusia yang tidak ada hubungannya dengan sesuatu dalam hidupku.

Tentang bagaimana Harvey Moeis melakukan korupsi sampai sebesar itu, tentang bagaimana peramal India bisa meramal kapan kiamat, tentang bagaimana Thoriq Halilintar sudah haji semenjak berusia dua bulan, tentang—ah, intinya orang-orang itu masuk di pikiranku!

PYAARR!!

Kelas yang tadinya berisik mendadak hening dalam sekejap, aku termasuk teman-temanku otomatis melirik jendela di sebelah kiri. Benda bening itu retak lalu pecah berkeping-keping, pecahan kacanya bahkan terpental ke beberapa meja.

Untungnya tidak sampai melukai siapapun, anak laki-laki yang sedang duduk-duduk di lantai langsung terperanjat dan berdiri menjauh. "Bangsat, kaget gue!" Pekik Candra. "IH ANYING, DEFEAT!!" Teriak Felix, ia menunjukkan layar ponselnya.

"Apa-apaan sih, bajing?"

Kala itu, Jagat selayaknya seorang pemuda pemberani penuh wibawa yang berusaha meredakan kondisi. Jagat melangkah penuh kepastian, mendekat pada jendela yang sudah bolong itu. Aku berdiri, ikut mendekat pada jendela.

"Orangnya yang mana, Gat?" Tanyaku, aku dan Jagat celingukan ketika tidak menemukan siapapun di lapangan, tempat itu kosong, yang ada hanya kucing oranye bersama anak-anaknya. "Wah, anjing sih kata gue." Ujar Jagat.

Gegap Gempita Kota Jakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang