"Ricky.... Ricky...."
Aku mengguncang bahu Maverick pelan, berusaha membangunkannya yang terlelap di bangku belakang. Dia mengangkat kepala, mengedarkan pandangan dengan linglung ke sekeliling kelas yang masih kosong. Rambut Maverick mencuat ke mana-mana seakan belum disisir.
"Kau pulang jam berapa?" tanyaku saat melihat matanya yang merah.
"Jam 4." Maverick menguap seraya meregangkan otot-ototnya.
Aku menggeleng begitu menyadari dia baru tidur tidak lebih dari 3 jam. "Seharusnya kau tidur di rumah lebih lama, bukannya datang awal hanya untuk tidur lagi di kelas," tegurku.
"Aku datang awal karena ingin melihat wajahmu."
Seperti biasa, senyum jail menyertai kata-katanya. Aku menyibukkan diri dengan isi tasku, menghindari godaannya.
"Sudah sarapan?" tanyaku sambil lalu.
"Belum." Maverick kembali menguap sembari mengusap wajah.
"Pantas saja kau kurus." Kusodorkan bungkusan berisi sandwich yang kubuat pagi ini.
Maverick mengambil bungkusan itu, menghabiskan sepotong sandwich kemudian tersenyum lebar. "Aku tidak kurus. Beratku 176 pounds. Aku bisa menggendongmu dengan satu tangan, Faith. Mau coba?"
"Don't tease me.... Ricky!" Aku memekik saat dia benar-benar mengangkatku ke atas pangkuannya. Refleks, aku mencengkeram bagian depan T-Shirt-nya untuk berpegang. Wajah kami berhadapan begitu dekat tanpa jarak berarti yang memisahkan.
"I want my morning kiss." Maverick menggesekkan ujung hidungnya di leherku yang tidak tertutup kerah kemeja. Aku terlonjak ketika dia mendaratkan ciuman ringan di sana.
"No kiss." Susah payah, aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya di seputar tubuhku.
"I'm your boyfriend. At least, I deserve one kiss."
"Aku tidak pernah setuju. Kau sendiri yang memutuskan."
Maverick bergeming, menarik diri agar bisa menatapku. "Aku tidak mencium sembarang orang, Faith. Aku yakin kau juga begitu. Dan aku sudah bilang kalau aku menyukaimu. So, I think we're officially dating."
Aku yakin wajahku pasti sudah sangat merah sekarang. Kugigit bibir dengan resah, bingung bagaimana harus memberi tanggapan. Aku memang menyukai Maverick. Namun, mengagumi diam-diam dan benar-benar berkencan adalah dua hal yang berbeda.
"Tidak ada yang menarik dari diriku. Kurasa ... kau harus mencari gadis lain yang sesuai denganmu." Meski berat, aku harus mengatakannya. Aku bukan gadis yang akan membuat pria mana pun bangga digandeng sebagai kekasih. Lebih baik, aku menghentikan hubungan ini sebelum melangkah lebih jauh.
Maverick membisu. Memasang ekspresi datar yang selalu melekat di wajahnya. Perlahan, dia melepas kacamataku, meletakkannya di atas meja. Degup jantungku tidak terkendali saat yang dia lakukan hanya menatapku dalam diam. Tatapannya menilai setiap bagian wajahku. Dari mata terus turun hingga ke bibir. Ibu jari Maverick mengelus pelan, menarik bibir bawahku agar terpisah. Dia menelusupkan ibu jarinya di antara celah bibirku, memerintah dengan suara serak.
"Suck it."
Keraguanku hanya bertahan sedetik, sebelum mengikuti perintahnya. Iris abu-abu Maverick menggelap hingga nyaris berwarna hitam, saat aku menenggelamkan jarinya di dalam mulutku. Mengisapnya. Kemudian, kendali dirinya lepas ketika secara tidak sengaja, lidahku mengenai ujung jarinya.
Maverick menggantikan jari tersebut dengan bibirnya. Menciumku penuh hasrat. Menempelkan tubuh kami yang sebelumnya terpisah jarak. Lenganku berpindah ke lehernya, mengetatkan pelukan kami. Maverick tidak memberiku kesempatan untuk bernapas. Mencurahiku dengan lumatan serta pagutan tanpa jeda. Dia melepas tiga kancing teratas kemejaku, menyelipkan tangan ke dalam. Aku mengerang di dalam mulutnya, mendesah keras.