Maverick keluar dari kursi pengemudi Ford Mustang tua miliknya, membuka pintu untukku tanpa bicara. Sebenarnya, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun sejak pergi dari rumah Marcie.
Aku juga tidak berani mengajaknya bicara, membiarkan dia membawaku ke gedung apartemennya di pusat kota. Tujuanku adalah menghabiskan waktu hingga ibuku berangkat kerja, lalu pulang ke rumah. Ibuku akan kena serangan jantung kalau melihatku pulang memakai mantel pria dengan hanya pakaian dalam di baliknya. Meski, aku tidak tahu tujuan Maverick membawaku ke sini. Sekali lagi, aku tidak berani bertanya. Maverick kelihatan siap meledak kapan saja. Sikap tenangnya yang biasa tidak dapat menyembunyikan aura berbahaya yang berusaha dia tutupi.
"Kalau tidak merepotkan, aku ingin diantar pulang sebelum pukul 10," pintaku setelah melangkah masuk ke dalam unit apartemennya.
Bunyi pintu dibanting menutup membuatku terlonjak di tempat. Maverick berjalan cepat ke arahku, membungkukkan badan sambil mencengkeram kedua bahuku erat.
"Kenapa kau tidak meneleponku?" Dia nyaris menyentakku karena marah.
"Aku ... aku sudah ... meninggalkan pesan," jawabku terputus-putus. Maverick menakutiku saat sedang marah seperti ini.
"I was at work. I won't know until it's too late. And ... I almost late. Sial, Faith! Mereka hampir memperkosamu!"
Air mata yang kutahan sejak tadi, kini luruh satu per satu. Aku mulai terisak. Semua ini salahku. Karena bergaul dengan gadis seperti Marcie. Sebab meski sedikit, aku berharap bahwa mereka akan menerimaku. Kusadari alasanku selama ini tidak pernah menolak permintaan Marcie, bukan hanya karena aku takut kepadanya. Aku ingin mereka mengakui keberadaanku. Bukan hanya mencariku saat dibutuhkan.
"I'm sorry.... Aku tidak berhati-hati.... Aku tahu kau butuh uang ... dari pekerjaan ini.... Aku tidak ingin merepotkanmu...."
Maverick tercenung. Perlahan, warna meninggalkan wajahnya. Cengkeramannya berpindah ke pipiku. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian ke tempat jalang itu hanya karena pekerjaanku! Fucking asshole!"
Teriakan Maverick kembali membuatku terperanjat. Aku tidak tahu pada siapa dia tujukan makian itu. Namun, menilai dari situasi, tampaknya Maverick sedang memaki diri sendiri.
Dia melepaskanku dengan mendadak, menegakkan tubuh seraya melempar pandangan ke langit-langit. "I need a drink," ujarnya setelah beberapa saat tanpa suara.
Maverick nyaris melepas pintu lemari es dari engselnya ketika mengambil sebotol air mineral dingin. Dia meminumnya sampai habis, meremas botol plastik tersebut sebelum mencampakkannya ke tempat sampah. Maverick terlihat lebih tenang ketika kembali mendekatiku.
"Akan kuantar pulang setelah berganti pakaian. Aku harus mengembalikan setelan ini lagi ke studio, tadi aku pergi terburu-buru setelah membaca pesanmu." Maverick menatapku agak lama sebelum mengedikkan dagu. "Mantel yang kau pakai juga. Aku harus mengembalikannya."
"Boleh aku pinjam pakaianmu?" tanyaku takut-takut.
"Ya. Tentu saja. Akan kuambilkan."
Aku menarik ujung jasnya saat Maverick baru saja berbalik. Dengan wajah tertunduk, aku berkata lirih, "Terima kasih ... karena datang untukku."
Tidak ada tanggapan apa pun dari Maverick, hingga aku mengangkat wajah ragu. Takut bahwa dia masih marah. Namun, bukan amarah yang aku lihat. Matanya bersinar oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang mendorongku untuk mengungkapkan hal yang selama ini kupendam. "Aku tahu ... kalau aku tidak sesuai untukmu. Aku tidak mengerti ... alasanmu peduli padaku. But, I feel grateful. I like you, Ricky. I just want you to know. Just please, stop telling everyone that I'm your girlfriend. Kita semua tahu bahwa kau hanya merasa nyaman bersamaku, bukan berarti.... Ricky, turunkan aku!"