#15 - End

1.1K 122 58
                                    

15
“I Will Listen to What My Heart Says.”

| 9 Mei 2024 |

Uzumaki Naruto mengemudi di sepanjang Rainbow Bridge yang menghubungkan pulau reklamasi Shibaura dan Odaiba. Malam semakin dingin karena densitas hujan yang tak kunjung reda. Membawa aroma pahit yang menyesakkan dada. Matahari lebih absen menyapa, sedangkan petir mulai menampakkan diri, menyambar beberapa kali: cukup untuk membuat pihak BMKG sibuk melakukan update cuaca.

Menurut informasi yang dia dapat, wanita itu berada di sana, di salah satu pulau reklamasi di teluk Tokyo utara. Wanita yang dia cari rekam jejaknya selama empat tahun belakangan.
Pada masa lalu, dia selalu melarikan diri dari kenyataan. Sibuk menghakimi dunia.

Dan sebuah keputusan paling tolol telah membuat hidupnya porak-poranda. Dia terlambat sadar, kalau orang yang lebih memedulikannya melebihi dirinya sendiri telah pergi.

Tidak. Dia tidak melakukannya untuk membuatnya benar-benar pergi—menghilang seperti embun yang menguap bersamaan mentari yang meninggi. Namun nasi telah menjadi bubur. Tidak ada reaksi kimia yang mampu mengubahnya menjadi butiran.

Ponselnya berdering bertepatan dengan dia berhenti di lampu merah, memungkinkannya menjawab panggilan.

Itu adalah Sabaku Gaara.

“Terjadi kecelakaan di Shinjuku. Mereka berkata seorang wanita dengan rambut berwarna indigo—”

Suara Gaara diputus secara sepihak bertepatan dengan suara deru mesin. Naruto bersiap memutar arah menuju Shinjuku.

.

Jam tengah malam sudah terlewat beberapa menit lalu, hari sudah berganti tapi terbilang masih terlalu dini. Naruto duduk termangu di depan rumah sakit, mengusap wajahnya yang kusut. Sambil meraih rokok, dia menyalakan pemantik. Menghirup nikotin untuk memenuhi rongga dadanya, membantunya perlahan-lahan mengumpulkan kesadaran.

Dia nyaris kecelakaan saat mobilnya putar balik menuju tempat perkara kecelakaan. Ketika bamper mobilnya nyaris menyerempet pengendara lain, dia banting setir ke kiri. Menghentikan mobil sambil mengutukkan sumpah serapah.

Beruntung, korban bukanlah wanita itu, sehingga otot-ototnya yang kaku, perlahan mengendur. Kakinya lemas, tapi dia masih cukup kuat untuk menjejakkan kaki keluar. Sekali lagi menghirup nikotin yang entah kapan sudah menjadi kebiasaan.

Sambil meniupkan asap dari mulut, dia menatap jalanan yang semakin buram lantaran derasnya guyuran hujan. Air yang jatuh membasahi segala benda, menyadarkannya kalau saat ini pakaian dan tubuhnya telah basah.

“Sial!” dia membenci ini. Tepatnya, dia membenci hujan karena hujan adalah pranala luar dari dirinya, yang jatuh tanpa mampu dikendalikan, kemudian mengalir ke titik terendah di mana kedua tangan dan kakinya telah lemas tak bertulang.

Jika saja waktu diputar kembali, akankah dia melepaskan wanita itu?

.

.

.

The Liar and His Dangerous Partner

.

.

.

The Liar and His Dangerous PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang