Steak Yang Sama, Namun Berbeda Rasanya

172 11 0
                                    

Est POV

Pintu terbuka, dia—kekasihku datang. Aku bisa melihatnya sedikit terlonjak, mungkin, terkejut karena melihatku yang masih terjaga. Memang tak seperti biasanya.

Aku memilih untuk tetap diam. Terduduk di meja makan dan berusaha santap makan malamku dengan tenang.

Dua piring dengan daging diatasnya sudah kusiapkan dimeja makan. Satu sedang kusantap, satu lagi ada dihapannya—william, mulai mendingin.

"Makanlah," kataku yang hanya dibalas dengan diam.

Ini makan malam yang hening. Dia duduk dihadapanku, makan sesuap daging yang telah kusiapkan. Tapi sorot matanya kosong saat dia mengunyah makanannya.

"Kau tidak terlihat berselera," kataku, "Apa steak yang tadi kau makan direstoran lebih nikmat daripada steak yang kubelikan untukmu, william?"

Dia tetap tidak bicara. Tapi pupilnya terlihat melebar, mulutnya berhenti mengunyah. Terkejut rupanya.

Aku berdiri untuk menunduk, mencondongkan tubuhku padanya—mengusap noda dari saos barbeque yang menempel pada kemejanya.

"Padahal aku membelinya ditempat yang sama." aku tersenyum, lalu melanjutkan makan dengan tenang, "Mungkin, terasa kurang nikmat karena kau tidak memakannya dengan orang yang kau cintai, ya?"

William mengangkat alis, "Bagaimana kamu—"

"Ya. Maafkan aku."

Menyerah rupanya.

"Sejak kapan?" tanyaku, tampak tenang namun menyedihkan

"Empat bulan lalu," ia menunduk, terlihat menyesal mengatakannya, "Saat divisiku sedang melakukan pesta penyambutan, dan saat kakak sedang melakukan perjalanan dinas di ibu kota."

Oh, cukup lama rupanya.

Aku tertawa kecil, menertawakan diri sendiri yang sudah terbodohi selama empat bulan lamanya. Miris dan menyedihkan.

"Jadi, sudah menentukan pilihan?" Jantungku berdegup kencang. Namun, siap tak siap, harus tetap kutanyakan, "Memilihku, atau dia?"

Ia memalingkan muka, air terlihat hampir jatuh disudut matanya. Oh, william sayang. Ingin sekali aku merengkuhnya, namuna sudah tak pantas rasanya.

"Maaf—"

hanya itu kah yang bisa kau katakan?

"Aku akan mengemasi barangku, dan tinggal bersamanya esok hari"

Selesai. Hubungan yang kujani selama empat tahun telah selesai.

Aku tersenyum, namun mataku tanpa sengaja menitihkan air mata. Terlalu menyakitkan rupanya.

"Jangan menangis.." katanya. Padahal pipinya sendiri sudah membentuk aliran sungai, "Semua salahku."

Cincin dijari manisku telah terlepas, kutaruh tepat disamping tangannya yang mengerat diatas meja. Menyedihkan, bagaimana bisa aku tak menydari bahwa sudah tak ada lagi cincin dijari manisnya.

Jadi, selama ini aku sendirian?

Ia berdiri, mendudukan dirinya dipangkuanku dan merengkuhku erat. Kurasakan basah dibahuku, "Aku tidak pernah tidak bahagia saat bersama kakak. Aku yang terlalu bodoh, aku orang yang jahat."

Usapan kuberikan pada surainya, kucium pelipis yang ototnya menegang,

"Bohong." kataku, "Jika kau bahagia bersamaku, lalu mengapa semua ini terjadi?"

Ia terisak, mungkin sudah tak sanggup mengatakan apapun.

Aku berdiri menggendongnya, membawanya ke kamar kami untuk kurebahkan, sebelum kuselimuti dan kuusap wajah manisnya. Untuk yang terakhir kali.

"Istirahatlah," usapanku terhenti, "Akan kusiapkan segala keperluanmu, dan akan kuantar esok pagi ke rumah barumu."

Saat aku beranjak, ia menahanku. Mata birunya yang memerah menghantuiku.

Ia terdiam sejenak, "Kumohon, tahan aku, dan aku tidak akan pergi kemanapun."

Aku menghela nafas dan menunduk, hampir menangis, ini semua melelahkan.

"Cukup, william."

"Aku sudah tak lagi mempercayaimu,"

"Pergilah, aku melepaskanmu."

Pintu kamar kututup. Aku jatuh bersimpuh, menangis dalam diam didepan pintu. Semuanya berakhir menyakitkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ESTWILLIAM ONESHOOT AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang