Prolog: Gadis Harapan dan Sang Petarung Mimpi

2 0 0
                                    

"Kau tau? Manusia itu bisa abadi." Ujarnya tiba-tiba.

"Sungguh?."

Ia mengangguk. "Tubuh mungkin mati dan jiwa kembali pada penciptanya. Tapi, karya dan kisah yang ditinggalkan akan terus hidup."

"Seseorang yang sangat berarti bagiku pernah mengatakannya." Lanjutnya.

Ia menengadah pada awan yang bergumul. Matanya berbinar dan sedikit basah oleh air mata yang ditahan dengan susah payah. Namun, gadis itu menepisnya dan segera melemparkan senyum manisnya.

Matahari kian mendekati horizon di ufuk barat. Sehingga semburat jingga bermunculan di atas awan yang bergumul. Awan yang mulai tersibak setelah usai memuntahkan hujannya ke bumi tanpa aba-aba. Untungnya kami sempat berteduh sebelum hujan benar-benar membasahi seragam putih abu-abu kami.

Sementara itu, gadis yang duduk di sampingku ini riang-riang saja. Padahal angin yang bertiup rendah terus menggoda rambut panjangnya yang tergerai. Aku memperhatikan sosoknya yang mungil dengan remang bulu kuduk yang berdiri setiap kali angin berhembus sedikit lebih kencang. Sayangnya aku tak punya hal lain yang bisa membantunya merasa sedikit lebih hangat selain kedua lenganku. Namun, ia tak akan menyukainya.

Pupil coklatnya menyalang seperti batuan alam yang magis tatkala mentari menyinarinya. Telapak tangannya yang mungil sesekali menepuk pundakku ketika ia tertawa dengan lepas. Aku memperhatikan sosoknya lagi. Suaranya yang lembut, kulitnya yang bercahaya di bawah sinar matahari, keteguhannya, dan bagaimana ia menemukan harapan baru di antara hidup yang pernah membuatnya patah-warna-warna dirinya itu laksana magnet mematikan yang menarikku secara misterius.

Ia menatapku bingung, kemudian aku menemukan diriku yang telah memperhatikannya terlalu lama.

"Kau masih mendengarkanku?."

Aku mengangguk.

"Memangnya tadi aku tanya tentang apa?." Desaknya memastikan. Sementara aku hanya bisa nyengir membalasnya.

"Tuh, kan. Kamu melamun lagi." Gerutunya kesal. Lalu, ia menarik napas panjang. "Aku tanya, apa impianmu?."

Aku sedikit terperanjat, sebab ia adalah satu-satunya orang yang pernah bertanya demikian. Impian? Itu terdengar seperti sesuatu yang terlalu mahal untuk dibeli bahkan dengan seluruh hidupku.

"Aku tidak tahu." Jawabku singkat . Kemudian aku menyadari bagaimana alisnya turun karena tak puas dengan jawaban yang aku beri.

"Memangnya impian itu penting?." Tambahku hampir sentimental.

Raut wajahnya berubah dengan cepat. Bibirnya yang ranum merekahkan senyum lagi. "Impian membuatmu terus menapaki titian yang sulit meskipun itu membuatmu takut dan berdebar-karena kamu tau titian itu akan membawamu pada tempat yang kamu inginkan. Apa kamu memiliki sesuatu yang seperti itu? Impian maksudku."

"Mungkin. Tapi rahasia" Ujarku ragu. Aku harap aku bisa menjawabnya dengan penuh keberanian.

Dia cemberut, lalu mencondongkan tubuhnya.

Spontan aku beringsut mundur, mencoba mempertahankan jantungku yang berdebar tak karuan oleh tingkahnya yang tiba-tiba. Lalu melemparkan pandang dengan canggung pada anak sungai di depan sana, dimana adikku, Adinda yang berusia 7 tahun sedang bermain-main dengan air sungai yang dingin. Selanjutnya gadis kecil itu berlari mendekat dan menyodorkan sekantung pelet ikan untuk ditaburkan di tepi sungai, dibagian yang paling dangkal agar kami bisa mengamati bagaimana ikan-ikan itu berenang dengan lincah. Mengalihkan perhatian sementara sebelum aku kembali dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan penuh harapan yang aku harap bisa kujawab dengan penuh keberanian.

Sementara itu, matahari yang tinggal setengah bagian memancarkan cahaya jingganya yang kemilau. Siluet gadis remaja 17 tahun itu nampak begitu menawan. Sedikit pendar lampu jalan di atas jembatan turut menyorotnya dengan mesra. Dia melemparkan senyum itu lagi. Menaburiku dengan umpan miliknya, yang membuatku tak jauh berbeda dengan ikan-ikan yang mengerubung di bawah kaki kami. Ikan-ikan yang mabuk akan umpan yang ia beri.

Mereka terlihat bahagia. Sungguh, aku rela mengorbankan apapun demi bisa melihat senyuman-senyuman itu. Senyuman adikku yang tersayang dan senyuman gadis harapan yang menimbulkan perasaan tak masuk akal di dalam hatiku.

Impian memang terlalu mahal untuk orang sepertiku.

Namun, Tuhan, bolehkah aku menjadi sedikit lebih serakah?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beautiful Soul: Undefined Color of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang