Miller Anderson

17 4 0
                                    

Di ruang tamu besar dengan cat putih rumah Anderson, Miller duduk termenung di atas sofa. Bayang-bayang hari kemarin menghantuinya dengan sangat pahit. Setiap kali matanya terpejam, ingatannya kembali menggali detik-detik tak termaafkan saat ia berani menyakiti adik perempuan bungsunya. Tangis pilu, permohonan ampun, dan tatapan takut Emma masih terpatri jelas di benaknya, membalut hatinya dengan penyesalan yang tak terbendung.

 Tangis pilu, permohonan ampun, dan tatapan takut Emma masih terpatri jelas di benaknya, membalut hatinya dengan penyesalan yang tak terbendung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Miller ingin sekali lenyap dari dunia, tapi ia juga tak tega untuk mengakhiri usianya sendiri dengan kematian yang tak wajar. Lagipula, akan ditempatkan dimana nanti jika ia mati bunuh diri? Sepertinya orang tuanya pun tak sudi untuk menjemput jiwanya.

Dalam keheningan rumah yang sepi, Miller menggenggam erat kedua tangannya. Dia sudah memutuskan untuk pergi, menjauh dari tempat yang kini tak lagi ia anggap sebagai rumah. Kamarnya menghantuinya, luka-luka di wajah Emma terus menerus datang ke lamunannya. Beban penyesalan yang menghimpit dadanya terasa begitu berat, seolah-olah setiap langkahnya menuju pintu keluar adalah pengakuan atas dosa besar yang telah dilakukannya.

"Ada lagi yang mau dibawa?" Albert sebenarnya sudah ada di sana sedari tadi, memandangi kakaknya yang sedang menunduk sambil menautkan kedua tangannya. Entah memikirkan ulang perbuatannya atau berdoa pada Tuhan.

Miller, masih dalam posisi yang sama dan tidak menoleh, menjawab. "Segini dulu saja. Tidak usah banyak-banyak."

Albert melirik satu koper hitam dan satu tas besar berwarna cokelat di sebelah kakaknya. "Rencananya berapa lama kau akan—"

"Sampai Tuhan mengampuniku," potong Miller.

"Bagaimana kau akan tahu?" tanya Albert datar.

"Bisa apa saja." Miller menjawab dengan singkat. Ia juga tak mau berpikir jauh-jauh dulu, sebab perasaannya sekarang seperti benang yang kusut. Miller lalu mengusap-usap dahi tengahnya dengan dua jempolnya, pening, tidak juga menoleh pada adiknya.

Sedangkan Albert mengusap rambutnya yang sedikit lepek karena keringat. Bukan karena kelelahan membantu Miller memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, tapi melainkan respon tegang sebab kakak pertamanya akan pindah ke rumah lamanya di Toronto dan tidak berjanji akan kembali lagi dengan cepat. Urusan kantor? Miller masih bisa bekerja mengatur perusahaan dad, didominasi oleh work from home dan jika harus pergi ke kantor, ia akan pergi—namun tidak berkunjung ke istana Anderson.

Miller berdiri. Tangan kekarnya menarik pegangan koper menjadi memanjang.

"Pesawat akan datang dua jam lagi, Miller. Duduklah dulu." Albert berkata. Hubungan antara kakak beradik ini memang cenderung kaku dan canggung. Sangat berbeda dengan masa kanak-kanak sampai remaja mereka. Semenjak Abraham dan Anna meninggal, Miller dan Albert sudah jarang mengobrol empat mata dari hati ke hati secara emosional. Jika tidak ada perusahaan peninggalan dad, barangkali mereka memang tidak akan pernah bertegur sapa sama sekali.

Terlebih, hubungan mereka semakin menjauh karena ketimpangan kasih sayang kepada Emma—Miller garang dan sering melakukan kekerasan, sedangkan Albert begitu penyayang dan lemah lembut. Mereka berdua selalu berkonflik soal didikan pada adik bungsu mereka. Namun begitu, melihat situasi dan kondisi saat ini, bagaimanapun juga Miller tetap salah.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang