EOTH; 25

372 47 7
                                    

25; Tujuh Bulan Kemudian

•chapter twenty five; start•

"Anak ayah lagi ngapain? Kok kayak seru banget?"

Jihoon menatap ke arah ayahnya yang baru saja datang, tersenyum menikmati usapan di kepalanya yang begitu menenangkan. Sedangkan di tangannya terdapat alat rajut dimana ia baru saja mempelajarinya dari Jeongwoo beberapa saat lalu. Ngomong-ngomong Jihoon sedang membuat pakaian bayi.

Jeongwoo ikut tersenyum melihat wajah bahagia kakaknya, "Bang Jihoon lagi bikinin baju buat cucunya ayah. Dari tadi ngotot minta ajarin ngerajut."

"Nggak usah ngadi-ngadi ya, nyet. Gue kagak maksa kali." balas Jihoon yang membuat Tuan Park merenggut tidak suka.

"Orang hamil nggak boleh ngomong kotor, lisannya dijaga." peringat Tuan Park membuat Jihoon terkekeh.

"Iya yah, maaf."

Tuan Park mengangguk, menatap perut Jihoon yang membuncit hingga kini ia telah duduk mensejajarkan wajahnya pada perut putra sulungnya. Dengan perlahan ia mengusap kulit yang ditutupi oleh kain itu, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Begitu juga dengan Jihoon dan Jeongwoo yang ikut merasa campur aduk.

"Maafin ayah Ji... Ayah nggak akan pernah mengizinkan anak kamu ketemu ayahnya, sampai kapan pun itu." ujar Tuan Park.

"Ayah." peringat Jeongwoo, ia sangat peka dengan perubahan raut wajah Jihoon yang saat ini terlihat begitu murung.

Tuan Park menatap Jihoon, "Usianya berapa bulan?"

Jihoon kembali tersenyum walaupun terlihat sangat terpaksa, "7 bulan yah."

"Setelah dia lahir, kamu adalah ayahnya. Akan tetap seperti itu." ujar Tuan Park sebelum beranjak dari sana setelah melemparkan senyumnya.

Jihoon diam, hingga ia merasakan sebuah usapan lembut di sebelah pundaknya. Itu Jeongwoo, yang menatapnya dengan senyuman penuh keyakinan.

"Gue kangen Junkyu..." lirih Jihoon.

"Bang, lo bakal mati kalo ketemu dia." balas Jeongwoo.

Jihoon menelan ludahnya, "Meski dia selalu ngirim pesan ke gue setiap hari?"

"Maksud lo?"

"Iya, woo. Dia nggak pernah absen ngirim pesan ke gue, walaupun nggak ada satu pesan pun yang gue bales." jelasnya.

"Itu nggak menjamin."

"Tapi, gue masih sayang sama Junkyu..."

Jeongwoo menghela nafasnya kasar, "Jangan bodoh bang. Hidup lo akan jadi neraka kalo lo maksain diri buat bersama. Junkyu itu lathrotires, nggak sepatutnya lo masih menyimpen rasa buat dia sejauh ini."

"Gue bawa darah daging dia, woo."

"Enggak setelah dia lahir, inget kan kata ayah? Kita bakal ngelakuin ritual buat menghilangkan darah lathrotires itu dari tubuh anak lo." balas Jeongwoo yang membuat hati Jihoon terasa sangat sakit.

Jihoon mengusap air mata di pipinya dan memilih menatap ke arah luar jendela dengan lelehan air matanya, "Pergi woo, gue butuh waktu sendiri."

Jeongwoo merasa bersalah, "Maaf bang..."

Adiknya itu benar-benar pergi dari kamarnya, meninggalkan Jihoon yang terisak di atas kursinya. Hatinya begitu sakit, kenapa mereka berpikir sejahat itu?

Jihoon melemparkan alat rajutannya ke atas lantai, menangis tersedu-sedu seraya menangkup wajahnya meredam tangisan. Jika seperti ini, bagaimana caranya Jihoon hidup?

Ending of The HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang