Satu

36 6 1
                                    

"Sial banget, gue!"

Aku memandangi sepatu dan kaos kaki yang basah kecoklatan. Terciprat genangan air pinggir jalan akibat pengendara motor mengemudi dengan kecepatan tinggi barusan lewat. Seandainya saja aku mau menunggu Mas Satria yang bangun kesiangan, aku nggak bakalan naik angkot dan diturunkan sebelum tujuan.

"Hari Senin yang menyebalkan."

Setiap hari sebenarnya aku diantar jemput oleh Om Samin, ajudan Bunda yang ditugaskan berjaga di rumah selama Bunda mengajar di Sukabumi. Sedangkan Ayah baru akan pulang tiga bulan sekali usai berlayar berpatroli mengamankan perbatasan negara. Keberadaan Om Samin sebagai ajudan Bunda, dan anggota-anggota Ayah yang sering mampir mengecek kami di rumah dinas Ayah cukup membantu keseharian kami bertiga. Setidaknya Ayah dan Bunda tidak terlalu kuatir meninggalkan kami untuk berdinas.

Toh, di akhir minggu, aku dan Bunga akan menginap di rumah Eyang yang nggak jauh dari tempat Pakde Yono. Kalau rumah Ayah berada di kompleks TNI AL, Pakde Yono tinggal di sekitar kompleks KODIM karena masih berdinas di sana. Setidaknya hingga tahun depan saat masa pensiunnya tiba.

Sesekali Mas Satria juga mengantarku saat Om Samin harus menemani Bunga, adik bungsu kami, dan Mbak Yumin, perawat yang bertugas khusus membersamai Bunga selagi orang tua dinas dan kami bersekolah, untuk kontrol rutin ke rumah sakit kedinasan. Bunga masih perlu fisioterapi, mengoreksi cara berjalannya akibat hipdysplasia setelah lahir. Seninku sebenarnya tidak buruk, sayangnya hari ini berbeda. Mas Satria kesiangan karena sibuk bertelepon dengan Mbak Maya, pacar yang disembunyikan dari Ayah dan Bunda.

"Pacaran kok backstreet. Di mana nyalimu, Mas?" ujarku dengan nada menantang.

"Halah, kayak nggak tahu Ayah Bunda aja. Ribet urusannya. Baru dikenalin, bisa-bisa besok langsung nongol informasi setebel kamus Bahasa Inggris di meja Ayah. Dari A sampe Z tentang Maya. Seperti yang sudah-sudah. Mereka tiba-tiba minta putus, ketakutan dibuat Ayah. Belum lagi Bunda yang kalo ngeliat tu detil dari kepala sampe ujung kaki. Nggak seru, ah."

"Bukannya bagus, Mas? Kan menghindari salah pilih." Tukasku.

"Pacaran itu main-main. Berkenalan biar tambah deket. Seleksi. Bukan ujug-ujug langsung dikawinin!" sungutnya.

Aku mengedikkan bahu. "Tetap saja Senja nggak tahu di mana minus-nya buat Mas."

Segenggam kulit kacang dilempar ke arahku.

"Nanti kamu rasain sendiri gimana rasanya hidupmu itu bukan punyamu. Semua harus nurut Ayah dan Bunda."

Lamunanku buyar begitu sampai di depan gerbang sekolah yang nyaris tertutup sempurna, bersamaan dengan seseorang menepuk punggungku.

"Kejebur di mana, Neng?"

Suara rendah yang bikin hati klepek-klepek bin gemetar hingga ujung kaki membuat moodku naik seketika.

"Eh? Kenapa?"

Sapaan Ridwan memiliki efek kejut buatku. Aku mendadak hilang ingatan dibuatnya. Aku lupa bagaimana sepatuku kecipratan genangan air hingga kaos kaki berubah warna. Aku nggak ingat kalau hari ini Senin yang tidak diinginkan. Aku lupa titip pesan ke Mbak Yumin untuk membeli beras sepulang dari rumah sakit. Aku lupa belum pesan ke Om Samin untuk membayar tagihan listrik bulan ini. Namun, di antara sederet hal yang aku lupa, mendadak aku diingatkan Tuhan kalau hari ini ada ujian matriks matematika. Hah? Sebentar, ujian matematik? Apa itu matematika, Tuhan?

Menilai kepanikan yang terlihat di wajahku, cowok berkulit putih itu tersenyum hingga barisan gigi putihnya yang rapi terlihat menyilaukan. Apa dia terpesona dengan eksistensiku di depannya? Apa mungkin dia berpikir, ada kucing kejebur got yang salah masuk sekolah hari ini? Apa pun yang ada dalam kepalanya yang menggemaskan itu, Ridwan dengan gaya rambut yang mirip dengan Tao Ming Se masih yang paling jago bikin jantungku joget nggak karuan.

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, suara nyaring terdengar dan merusak suasana. Wajah kotak dengan kumis lebat layaknya Inspektur Vijay berkata,

"Caelah, pagi-pagi lu bocah bikin adegan iklan 'Silau, Man!' pake pamer gigi. Buru masuk lu berdua! Noh, bentar lagi upacara dimulai. Mau kena strap lu pada?"

Satpam kesayangan satu SMA Negeri 01 tercinta mulai mengoceh dan menarik tas kami ke arah sekolah.

"Santai, Pak. Hidup itu dinikmati. Jangan buru-buru. Nggak ada seninya," jawab Ridwan.

Mulut Pak Jalu komat-kamit mengulang kalimat Ridwan dengan nada mengejek,

"Kena hukum lari tujuh puteran, baru nyaho, Lu!"

Ridwan tergelak. Poni ikalnya bergerak mengikuti kepalanya. Jerry Yan punya kembaran, ya?

Aku? Jangan dicari, jangan ditanya.
Aku lenyap. Kakiku membenam tertelan tanah yang becek karena hujan deras tadi. Aku terbebani pesona Ridwan sepagi ini. Apa salah dan dosaku, Tuhan? Tadi Kau hukum aku dengan kotoran dunia, godaan saiton bernama Satria, dan sekarang Kau hukum aku dengan pesona surga yang bikin tulang-tulangku keropos dengan cepat.

"Senja, barisan lu di sana. Mau ngikut gue sampe ke mana?"

Aku tersentak dan menoleh ke sekelilingku. Beberapa siswi dalam barisan tersenyum geli. Anak-anak cowok bersiul kencang,

"Ridwan pagi-pagi udah mancing ikan, nih?"

Wajahku memerah saat aku menyadari bahwa aku mengikuti Ridwan hingga ke masuk ke dalam barisan kelasnya.

"Jiper banget dah ah kalo gue jadi dia," lirih salah satu siswi di dekatku.

Teman di sebelahnya langsung menyikut perutnya supaya dia tidak lagi berkomentar.

"Ma ... maaf," ujarku.

Buru-buru kuambil langkah kaki seribu. Setelah melewati barisan petugas PMR, berpapasan dengan tiga kakak kelas laki-laki yang dihukum karena tidak beratribut lengkap dan sedang dinasihati lengkap dengan kuah-kuah mesra guru BK, aku sampai ke barisan kelasku. Kelas 2A.

"Akhirnya yang ditunggu datang juga! Woi ketua kelas, tumben lu dateng mepet-me ... Lu abis kecebur di mana, dah?"

Spontan beberapa kepala dalam barisan di depanku menoleh ke belakang.

"Berisik, ah! Surya di depan, kan?"

Aku memastikan keberadaan wakil ketua kelas yang bertugas karena keterlambatanku.
Ketua kelas 2A, kelas unggulan, hampir saja terlambat karena kakaknya kesiangan akibat pacaran semalam suntuk. Penampilan yang seharusnya sempurna mempresentasikan kelas unggulan, lebih mirip anak dengan seragam yang nggak dicuci satu minggu lamanya. Oh, aku nggak bilang ya tadi, kalau seragam SMAku di hari Senin adalah putih-putih? Jadi bisa, kan, kalian bayangkan bukan cuma kaos kakiku yang berwarna coklat lumpur?

"Itu rok sama kulit warnanya hampir sama, ya?"

"Sst! Jangan kenceng-kenceng! Nanti kedengeran, kamu dilabrak oleh Surya!"

Bukan rahasia umum juga, kalau warna kulitku yang paling gelap di antara kakak dan adikku. Warna kulit Ayah menurun padaku.

"Tapi bener, sih, warnanya sama hihihi..."

Aku melotot ke arah tiga teman kelasku.

"Iya, aku hitam. Hitam gini aku juara kelas. Kalian gimana?"

Tanpa menunggu respon mereka, aku beralih ke Tasya, teman sebangkuku.
"Gue kecipratan tadi, Sya. Mas Satria kesiangan ke kampus. Jadi gue ngangkot. Pas turun, eh, gini deh jadinya."

Tasya yang mendengar penjelasanku mengangguk-angguk kepala.

"Terus motor yang lewat tadi itu, nggak apa-apa?"

"Apanya?"

Aku bertanya untuk memastikan bahwa kalimat yang kudengar tadi tidak salah.

"Motor yang nyipratin elu, baik-baik aja? Dia nggak mendadak jungkir balik elu pelototin? Nah iya, gitu, kayak sekarang elu melototin gue." Jawab Tasya.

Kucubit kecil pinggang Tasya.
Dia tahu jawabannya, tetapi sengaja bertanya untuk melihat bagaimana reaksiku.

"Mata gue udah dari lahir begini, Dodol. Belo' emang."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 21 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Janji SenjaWhere stories live. Discover now