14 : yellow tulips

336 30 0
                                    

Ann tidak lagi mengenakan seragam maid yang kekecilan—yang, jika ia tanyakan pada John alasannya, selalu dijawab dengan,

"Aku sedang mengurusnya, Ann."

Ann tidak tahu mengapa begitu. Apakah John bersekongkol atau mungkin dipaksa Max untuk tidak mengganti gaun yang jelas-jelas kekecilan itu? Entahlah.

Hari ini, Ann mengenakan gaun selutut berwarna kuning dengan motif bunga-bunga yang berjajar indah, terlihat sangat pas di kulit tubuhnya yang putih pucat. Ia juga membuka sebuah kotak kayu berukir, mengambil pita berwarna biru muda, dan mengikatkannya di rambut sebahunya.

Meskipun warnanya mungkin bertabrakan dan tidak serasi, Ann punya alasan tersendiri untuk memakainya. Dan anehnya, ia terlihat sangat cocok dengan itu.

"Bibi El, aku pergi sebentar," pamit Ann ketika bertemu dengan wanita paruh baya itu di dapur.

"Tidak perlu terburu-buru kembali, nikmatilah waktumu." Ella menyambut dengan senyuman hangat, matanya yang penuh kasih menyiratkan rasa sayang yang dalam.

"Terimakasih, Bi."

Ann melangkah keluar dengan langkah ringan, menuju halte bus yang tak jauh dari rumah. Angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma sejuk yang menyegarkan.

Sesampainya di halte, ia menaiki bus besar dengan warna biru cerah yang segera tiba. Dengan senyuman manis terukir di wajahnya, ia memandang keluar jendela, merenungi kapan ia akan hidup bebas, tanpa bayang-bayang masa lalunya, tanpa.. Max..

Bus berhenti di tempat tujuannya, dan Ann turun dengan semangat. Tak jauh dari situ, ada sebuah kios bunga kecil yang menjajakan berbagai macam bunga. Ann melangkah ke sana, hatinya berbunga-bunga saat melihat berbagai warna dan aroma yang menyambutnya.

"Aku mau tulip kuning," katanya dengan ramah kepada si penjual yang sudah mengenalnya baik.

"Sudah lama tidak datang, Ann." Seorang pria dengan penampilan kemayu menyambutnya dengan antusias. Nama aslinya Celio, tapi ia lebih suka dipanggil Celly, nama impiannya.

"Aku sibuk akhir-akhir ini," jawab Ann, disertai kekehan ringan yang membuat matanya berbinar. Ia merasa ringan setiap kali berbincang dengan Celly, seperti beban yang menghimpit dadanya sedikit terangkat.

"Tuhan pasti mengukirmu dengan tangan terampil, Ann. Kamu semakin cantik saja. Aku berandai bisa terlahir sebagai dirimu di kehidupan berikutnya."

Ann tersipu mendengar pujian itu, tapi perkataan tentang ingin menjadi dirinya di kehidupan selanjutnya membuat hatinya sedikit bergetar. Ia tahu perjalanan hidupnya bukanlah sesuatu yang mudah dijalani oleh siapapun.

Dengan senyum samar yang mengandung banyak makna, Ann menjawab, "Percayalah, itu bukan sesuatu yang perlu kau harapkan."

Celly dengan cekatan membungkus beberapa tangkai tulip kuning dengan kertas kado berwarna cerah. "Tulip kuning untuk hari yang cerah," katanya, menyerahkan bunga-bunga itu dengan senyuman yang tak kalah cerah.

"Terima kasih, Celly."

Ann menerima sebucket tulip kuning pesanannya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat aroma bunga itu menyebar di udara pagi yang sejuk.

Namun, saat dia berbalik, dadanya terasa sesak, seolah waktu berhenti sejenak. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan tatapan tajam yang membuat tulip di tangannya terjatuh tanpa disadari.

"Max!" teriak Ann, suaranya serak karena keterkejutan. Jantungnya berdegup kencang, seakan-akan hendak meloncat dari dadanya.

Max menatapnya tanpa belas kasihan, matanya seperti dua bara api yang siap membakar apa saja.

Die Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang