15

209 22 1
                                    

Davema memandangi wajah istrinya yang sibuk menyiapkan dan menata makanan di meja makan untuk makan malam dengan wajah tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Ia hampir melihat Dinda selalu tenang, sampai-sampai ia merasa ketakutan.

"Kamu sudah lapar?" Tanya Dinda dengan senyuman tipis sembari menyodorkan air putih pada Davema.

Davema meraih gelas itu, meneguk air putih dengan leher yang sakit sembari menatap istrinya penuh luka. Ia merasa terluka karena tidak mampu melindungi istrinya-wanita yang ia cintai setengah mati.

Davema memaksakan senyumnya, lalu meletakkan gelas kosong di meja. "Kamu sudah makan?" Tanyanya dengan nada bergetar.

Dinda menggeleng, "belum, kamu mau makan malam bersama sekarang? Atau kamu mau mandi dulu?"

Davema menggeleng, "saya ingin makan tapi disuapi, boleh? Nanti kita makan sepiring berdua, duduk di halaman belakang,"

Dinda terdiam sejenak lalu mengangguk, "kamu tunggu di halaman belakang aja, saya akan siapkan makanan dan menyusul kamu".

Davema menggeleng, "kamu siapkan makanannya, biar saya yang bawa, kita ke halaman belakang sama-sama. Raja sudah tidur??"

"Iyaa, Raja sudah tidur jam 7 tadi, sepertinya dia kelelahan karena terlalu asik bermain seharian ini dengan mama".

Davema tersenyum tipis, rasanya ia bermimpi bisa merasakan momen indah seperti ini.

****

"Kamu tidak makan siang?"

Davema mengangguk, menelan makanan dalam mulutnya, "saya lupa" ujarnya dengan nada pelan, jangankan makan siang, ia sama sekali tidak bisa memikirkan apapun selain Dinda.

"Lain kali, jangan lupa makan siang mas". Dinda menyuapi Davema layaknya anak kecil, sesekali menyuapi dirinya sendiri meski berkali-kali susah payah menelannya karena tenggorokannya terasa menyempit dan sakit.

Davema menatap Dinda lekat-lekat, "boleh saya minta sesuatu?"

"Apa??"

"Jangan dengarkan apapun yang orang lain katakan, kita lewati sama-sama, saya butuh kamu Din".

Dinda tersenyum tipis, "apa yang mereka bilang tidak sepenuhnya keliru mas. Jadi, saya berusaha untuk ikhlas. Dulu, kamu juga mengatakan hal yang sama, meminta saya untuk melewati segalanya bersama-sama. Sampai saya berpikir, kamu lewat jalan yang mana? Kenapa saya tidak menemukan kamu. Mas, sejauh ini, saya sudah melewati banyak jalan seorang diri. Saya baik-baik saja".

"Maaf, kamu pasti membenci saya".

Dinda menatap langit, menghalau air matanya yang berlomba-lomba ingin berjatuhan. "Saya tidak pernah membenci kamu, karena sebelum ini, kamu pernah membuat saya bahagia. Saya hanya... sedikit kecewa.  Tapi, bukan berarti saya membenci kamu."

Davema menatap wajah istrinya dari samping, "tolong bertahan sedikit lagi Din, saya tidak bisa kehilangan kamu."

Dinda menoleh, hingga tatapan keduanya bertemu, "mas, setiap manusia akan merasakan kehilangan. Kita harus siap akan hal itu, meskipun sakit".

Davema menggeleng, "saya nggak siap dan nggak mau kalau saya harus kehilangan kamu. Its so hurt Din, kehilangan kamu selama dua tahun terakhir benar-benar membuat hidup saya hidup seperti mati. Saya minta maaf sudah membuat kamu banyak merasakan kecewa dan sakit karena saya. Tapi, kamu harus tau kalau sampai detik ini saya masih sangat mencintai kamu, perasaan saya tidak akan pernah berubah. Apapun yang terjadi".

"Nasinya mau nambah?"

Davema tersenyum tipis, mengecup pipi istrinya gemas karena berani-beraninya mengalihkan pembicaraan.

"Pinter banget ngalihin pembicaraan".

Dinda memutar bola mata malas, "mandi mas,  kamu bau".

Davema merengut, mencium tubuhnya sendiri, "masak sih?"

"Iya".

"Bukannya kamu suka sama wangi tubuh aku yang baru dateng kerja? Hemm?"

Dinda melirik Davema sekilas yang tersenyum menggoda. Mungkin ini terdengar aneh, ia selalu menyukai wangi Davema, sekalipun itu bau keringat. Ia tetap menyukainya.

Tidak ada perasaan jijik ataupun ilfiil, apapun yang ada dalam diri Davema, ia menyukainya.

"Itu dulu". Sahut Dinda.

Davema melipat kedua tangannya di dada, "gitu ya? Kalau gitu, temani saya mandi".

"Saya sudah selesai mandi".

Davema terkekeh geli, "saya tidak menyuruh kamu mandi sayang, saya hanya meminta kamu menemani saya mandi".

Dinda melirik Davema, "saya nggak percaya omongan kamu, kamu itu manipulatif".

"Jangan berburuk sangka sayang, itu tidak baik".

"Tatapan kamu tidak bisa bohong Davema".

"Oh ya?? Gimana dengan tatapan saya? Hem??"

"Mesum".

Davema tidak mampu menahan tawanya, astaga, "nggak sepenuhnya salah, tapi yang lebih tepat, saya selalu menatap kamu dengan penuh cinta".

Dinda mendengus, sejak kapan manusia seperti Davema bisa gombal begini, "semenjak menikah lagi, kata-kata kamu semakin manis".

Davema mengerutkan kening, "oh ya?? Bukan bibir saya yang semakin manis kan?"

Dinda mendelik, "sejak kapan kamu senarsis ini? Percaya diri banget".

"Iya aku juga sayang kamu".

Dinda menatap Davema.

"Kenapa? Kok tatapannya gitu banget? Kata-kata aku aneh?"

"Kamu manggil 'aku'?"

Davema mengangguk, "iya, aku ingin kita menggunakan aku-kamu, bisa kan?"

"Terserah kamu" Dinda berderhem, "aku ikut apa kata kamu".

Davema mengusap rambut istrinya lembut, "penurut sekali istriku".

Dinda mengigit pipi dalamnya, menahan diri untuk tidak tersenyum, meski ia yakin, pipinya pasti bersemu merah. Dan yah, Davema sangat menyukai istrinya yang malu-malu ini.

"Senyum itu gratis kok, nggak usah ditahan sayang".

"Aku nggak senyum, mending kamu mandi mas, a-aku, aku mau ke dapur, cuci piring" ujar Dinda sembari meninggalkan Davema yang terkekeh geli melihat istrinya yang salah tingkah.

"Tetep aja ya, nggak pernah berubah, gengsinya tinggi banget" ujar lirih sembari mengikuti langkah istrinya, sepertinya, ia ingin mengajak sang istri untuk membantunya mandi.

Davema ini, sudah besar, mandi saja harus dibantuin.

________________
Jangan lupa vote dan komennya yaa❤❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang