Kembalinya Masa Lalu

1.1K 105 43
                                    

"Mau kemana kamu?" Trisna yang tengah menunggu Dimas mengeluarkan mobil tersentak dengan kehadiran Pradipta disampingnya.

"Mau pulang ke Jakarta." Balas Trisna dengan nada jengkel tanpa melihat kearah Pradipta.

"Sudah malam, besok saja pulangnya." Pradipta menarik tangan Trisna pelan, namun Trisna masih tak bergeming dari posisinya berdiri. Pradipta yang mengerti istrinya masih begitu marah, mencoba mendekat. "Mau masuk sendiri, atau saya gendong?"

Trisna tak menjawab, ia menepis tangan ayah dari anaknya. Dengan muka masam ia menatap Pradipta. "Sana masuk, diluar dingin, nanti kakimu sakit." Trisna mungkin marah, tetapi ia juga tahu kalau Pradipta baru saja sembuh, jujur dirinya merasa tak tega.

"Kenapa?, kenapa semarah ini?, bukankah sebelumnya kamu bilang tidak mengapa kalau dia merawat saya?" Pradipta yang tak mengindahkan ucapan Trisna sebelumnya balik bertanya. Trisna masih saja diam, membuat Pradipta mendekat dan mengambil posisi siap untuk menggendongnya. Namun Trisna memilih melangkah mundur. Menolak Pradipta untuk menggendongnya. Jadilah mereka saling tepis menepis tangan.

Dimas datang dengan mobil Alphard hitam yang biasa digunakan oleh ibunya. Ia menepikan mobilnya tepat didepan sang ibu. Kemudian keluar hendak membukakan ibunya pintu. Belum sempat Trisna melangkahkan kakinya. Hassan muncul dari balik pintu utama. "Kamu antar Pak De saja, biarkan ayah dan ibumu ribut berdua disini." Ucap Hassan kemudian berlalu masuk dan duduk disamping kemudi. Sementara Dimas yang masih setia memegang pintu mobil bengong dengan tingkah tiga orang dewasa dihadapannya. Ia menghela napas, berpamitan kepada kedua orang tuanya kemudian menuju kemudi mobil.

Setelah mobil Alphard hitam itu menghilang dari pandangan mereka. Trisna menatap Pradipta yang tengah menyilangkan tangannya didepan dada. Keduanya sama-sama diam, Trisna memilih masuk kedalam dan menuju kamar yang biasa ia tempati tanpa mempedulikan Pradipta yang mengikutinya.

"Kenapa marah Tris, saya juga belum bertemu bukan?, lagipula dia juga masa lalu saya Tris." Ucap Pradipta yang tengah mengekor istrinya itu.

"Masalalu?, yakinkah dirimu mas kalau dia hanya sebatas masalalu? Kurang spesial apa dia sebagai masalalu sampai dikenal oleh Eyang Putri dan Eyang Djiwono." Balas Trisna yang masih saja berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Pradipta yang masih mengikuti istrinya mencoba mengejar untuk menyeimbangkan langkahnya. Namun Trisna tetap tak mau peduli.

"Mas Dipta, kamu marah sama laki-laki yang berdansa dengan saya, padahal saya sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengannnya. Lalu bagaimana denganmu mas ?, kamu punya masa lalu yang bahkan sudah kamu kenalkan pada Eyang Putri. Mungkin tidak begitu penting untukmu karena kamu besar di Eropa, kamu terbiasa dengan budaya disana. Tetapi bagi saya yang lahir dan besar dengan kebudayaan Jawa, itu sangat mengganggu." Ucap Trisna sembari masuk kedalam dan ingin menutup pintu kamarnya namun berhasil ditahan oleh Pradipta. Melihat itu Trisna menepis tangan Pradipta dan melempar tangan suaminya itu.

Pradipta terkejut melihat reaksi Trisna yang ia anggap sudah berlebihan. Ini adalah pertama kalinya Trisna menepis tangannya dengan begitu kasar. "Begitukah?, apa kamu pikir kamu juga tidak begitu?, baiklah saya pernah dekat dengan orang lain. Bukankah kamu juga?, saya terima bahwa kamu marah, tetapi apa saya juga tidak boleh marah?. Seenaknya meletakkan tanganmu dipundak orang lain bahkan dihadapan keluarga saya." Pradipta mengingatkan kembali Trisna akan kesalahannya yang menurutnya sudah fatal. Jika hanya bercengkrama bukanlah hal yang besar tetapi apabila sampai saling menyentuh apalagi berpelukan dihadapan banyak orang bagi Pradipta itu sudah diluar batas . Karena dirinya selama menjadi suami dari Trisna tak pernah menyentuh perempuan itu selain dalam ranah privasi mereka.

"Perlu saya ingatkan lagikah mas?, kamu mengijinkan keluarganya menggunakan jet pribadimu. Kamu mengijinkan dia dan keluarganya menggunakan fasilitas-fasilitas penting milik keluarga Djiwono." Trisna terkekeh jengkel. Ia melanjutkan kalimatnya. "Bahkan saat melakukan peresmian kegiatan kementrian kamu menjemput mereka. Wow Mas Dipta, wow, saya tidak tahu kalau kamu seperhatian itu kepada orang yang kamu anggap hanya sebagai masalalu. Bahkan nama gedungnya saja menggunakan nama ayahnya. Seberapa spesial dia Mas Dipta, sampai sebegitu besar perhatianmu pada keluarganya."

Pradipta yang masih menahan pintu berhasil masuk. Ia melewati tubuh istrinya, kemudian duduk dipinggir ranjang. Tak bisa dipungkiri bahwa dirinya saat ini juga tersulut emosi dengan perkataan Trisna. Apakah Trisna tak tahu bahwa orang yang tengah ia bicarakan adalah orang yang menyelamatkan nyawa Pradipta dulu. Orang yang bagi Pradipta memiliki jasa yang begitu penting pada kehidupannya.

Trisna yang melihat kegusaran diwajah Pradipta semakin merasa tidak percaya. Bahwa selama ini dirinya hanya mengetahui secuil saja hubungan Pradipta dengan dokter itu. "Baiklah saya diam selama ini, karena saya pikir hubungan kalian memang sebatas masalalu. Nyatanya saya disini yang bodoh mas, saya bahkan tidak tahu kalau dia juga mengenal seluruh keluarga Djiwono. Dia bahkan mengenal keluargamu yang paling dituakan dan dihormati."

"Itu karena ayahnya adalah teman dekat papi Tris, sama seperti ayahnya Yahya Sastrowidjojo dan ayahnya Angga Suwirdjo. Yahya yang bahkan mengantarmu kebelahan bumi Eropa selama kita dikabarkan berpisah, kalian berlibur berfoto ria, bahkan dia berani merangkulmu saat berfoto. Apa saya pernah marah?, apa saya pernah protes?. Angga Suwirdjo temanmu dari masa kuliah dulu yang masih saja berada disekitarmu setiap saat, bahkan kamu selalu meminta pendapatnya terkait bisnismu, apa saya pernah melarang?"

"Kenapa kamu membawa nama orang lain dalam masalah ini?, sejauh apa hubunganmu dengannya mas?"

Pradipta diam tak menjawab, karena bisa dipastikan kalau ia membuka mulutnya saat ini, Trisna pasti akan sangat marah. Ia tak mau menyakiti Trisna, oleh sebab itu dirinya tak pernah membicarakan masalalunya itu dengan Trisna. Ia hanya mengijinkan Trisna sebatas tahu, tidak lebih.

"Jawab mas atau jangan pernah temui saya lagi." Ancam Trisna pada Pradipta yang masih membisu.

Mendengar ancaman itu Pradipta tak berkutik, ia sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana jika benar bahwa Trisna tak ingin menemuinya lagi. Kini ia lebih memilih jujur daripada tak diijinkan untuk melihat wajah Trisna. "Kami sempat bertunangan." pradipta menjawab dengan menundukkan kepalanya.

Trisna tersenyum sinis, ia menertawakan kebodohannya selama ini. "Kenapa batal?, kenapa pisah Mas Dipta? Apakah kamu masih menyukainya?, selama belasan tahun ini apakah dia masih punya tempat dalam hidupmu?."

Pradipta tak menjawab, ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan hal ini pada Trisna. Kenapa masalalu itu kembali disaat ia hampir saja bisa membina rumah tangga lagi. Kenapa cobaannya dalam menjalin hubungan dengan Trisna selalu datang diwaktu yang kurang tepat. "Lalu selama kita, dikabarkan berpisah, apa Yahya dan Angga itu tahu kalau sebenarnya kita tidak berpisah?" Pradipta memilih balik bertanya pada Trisna.

Trisna yang mendengar itu semakin kesal. Bagaimana bisa Pradipta bermain kata seperti itu disaat seperti ini. "Jika akhirnya akan begini, kenapa tidak kamu tanda tangani saja surat perpisahan itu. Kenapa malah menyalahkan orang yang seharusnya tidak terlibat."

Pradipta terkejut mendengar jawaban dari Trisna. Sebegini mudahkah bagi perempuan untuk mengucapkan kata pisah hanya karena pertengkaran yang melibatkan masalalu. Kini Pradipta mengerti kenapa perpisahan baru bisa sah apabila yang mengucapkannya adalah laki-laki. "Kamu membelanya Tris, kamu membela laki-laki lain dihadapan saya, bahkan saat kita bertengkar?, oke Fine, mari kita tandatangani saja surat itu. Bukankah publik menganggap kita berpisah, kita wujudkan saja anggapan mereka." Kini Pradipta berdiri dari duduknya, ia memilih keluar dari kamar Trisna. Dirinya yang begitu marah bahkan bisa diketahui dengan jelas dari pintu yang ia banting. Membuat Trisna berteriak karena terkejut, ia menangis, memikirkan betapa terjal jalan yang harus dilaluinya dalam menjalin hubungan dengan Pradipta. Malam yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berubah menjadi malam gelap yang tak ingin ia lalui.

"Selama hampir satu bulan lamanya saya hidup menggenggam harapan Mas Dipta. Memeluk ketidakhadiranmu dengan keadaan yang begitu menyedihkan. Kehilangan kamu akibat kecelakaan pesawat itu tidaklah semenyakitkan ini. Tidaklah semenyakitkan saya mengetahui fakta jika dirimu pernah begitu hebat mencintai perempuan lain." Trisna, dalam tangisnya berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin kini saatnya kita memang harus memilih jalan kita masing-masing mas." Trisna mengucapkan itu sembari menggenggam selembar kertas yang seharusnya sudah ia serahkan pada pengadilan lima belas tahun yang lalu.

SETELAH KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang