Ann duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi cermin di dinding dengan wajah yang penuh kerutan berpikir. Pikirannya penuh dengan keputusan berat yang harus diambilnya.
Semua ini terasa seperti tekanan yang luar biasa, dan dia merasa sendirian di dalam kamar kecil ini, jauh dari kenyamanan dan kehangatan yang ia inginkan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan suara berderit, dan sosok besar Max masuk tanpa memberi tanda atau izin.
Ann terkejut, matanya melebar ketika melihat Max berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan intensitas yang tidak pernah berubah.
“Max? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ann, berusaha menahan rasa cemas di suaranya.
Max tidak menjawab langsung. Dia hanya menutup pintu di belakangnya dengan lembut, lalu melangkah lebih dekat ke Ann, matanya penuh dengan tekad.
“Aku tidak bisa tidur sendiri malam ini. Aku ingin tidur di sini, bersamamu.”
Ann menatap Max dengan kening berkerut. “Apa maksudmu, Max? Ini kamar asisten. Tidak ada tempat tidur untukmu di sini.”
“Tidak peduli. Aku tidak mau tidur sendiri,” jawab Max, menegaskan dengan nada yang menunjukkan betapa seriusnya dia. “Aku tidak ingin tidur tanpamu di sampingku.”
"Dan apa katamu? Tidak ada tempat tidur untukku? Kita akan satu ranjang di sini." Max menunjuk ranjang kecil di sampingnya dengan mata tajamnya.
Tanpa basa-basi, Max langsung merebahkan diri di ranjang Ann yang sempit, menguasai ruang dengan postur tubuhnya yang besar. Wajahnya yang dingin namun angkuh tidak berubah sedikit pun.
"Tunggu apa lagi, cantik? Sini." Max tersenyum miring sambil menepuk-nepuk tempat di sampingnya, gesturnya memerintah.
Ann mengendus kesal. Max memang benar-benar sulit ditebak. Baru beberapa saat yang lalu, dia meninggalkan Ann di tengah jalan tanpa alasan yang jelas. Namun kini, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat.
Tanpa banyak pilihan, Ann dengan enggan berbaring di samping Max, meskipun ruang itu terasa sangat sempit. Tubuh Max yang hangat dan kuat segera melingkari tubuh mungil Ann, memeluknya erat-erat.
"Max, kita harus segera tidur. Kau bilang hanya ingin tidur, bukan yang lain. Kamar ini bukan kamarmu yang bisa meredam suara bising," jelas Ann dengan nada bersungut-sungut, mencoba menjaga jarak antara tubuh mereka.
Max tersenyum jahil, matanya berkilat dengan keceriaan nakal. "Suara bising? Memangnya kita akan melakukan apa, Ann?"
Ann terdiam sejenak, wajahnya mulai memerah. Pikiran liar melintas di benaknya, dan dia merasa malu pada dirinya sendiri. "Maksudku... bukan seperti itu... suara kita bisa terdengar keluar... jadi— umm—"
"'Bukan seperti itu'? emangnya apa yang aku pikirkan?" Max menatapnya dengan pandangan menggoda, seolah menikmati kebingungan Ann.
Wajah Ann semakin merah. "Mungkin kita akan berdebat atau semacamnya—"
Kalimat Ann terpotong saat Max tiba-tiba membungkam mulutnya dengan ciuman yang mendesak. Lidah Max segera mencari jalan masuk, menuntut. Ann terkejut, namun dalam kehangatan ciuman itu, ia merasakan getaran yang aneh dan menggugah.
"Lidah." Max menuntut, suaranya rendah dan serak, saat Ann mencoba menghindari serangan lidahnya.
"Tidak, Max—" Ann berusaha menolak, namun Max justru menghisap lidahnya kuat dengan penuh gairah. Sensasi itu membuat Ann melenguh tanpa sadar.
"Ahh..."
Max menarik Ann lebih dekat, menciuminya semakin dalam. Tubuh Ann merespons dengan cara yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, panas dan keinginan mengalir deras di nadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Die Into You
Romance"Aku sudah menjadi pria yang baik. Mengapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa. rate : mature © all pics from : pinterest FOLLOW SEBELUM MEMBACA, YA!!!