104. Ibu, Termulia dan Teristimewa

226 54 5
                                    

Karina

Sabtu, 4 Juli 2xxx

Ia terbangun karena perut yang mulas. Dengan bunyi kruwuk-kruwuk sebagai pertanda jika ia harus segera membuang hajat.

Perlahan ia berusaha bangkit. Dalam suasana kamar yang cukup temaram. Karena hanya diterangi oleh lampu tidur berwarna kuning. Menancap pada stop kontak yang menempel di dinding dekat pintu.

Sementara kipas angin duduk yang tersimpan di atas meja masih terus berputar. Menimbulkan bunyi mendesis dan suara 'cetek' tiap kali berubah haluan.

Dan melalui pengeras suara Masjid, sayup-sayup terdengar suara orang sedang membaca Al-Qur'an. Menandakan jika sebentar lagi waktu Subuh hampir tiba.

Begitu keluar dari dalam kamar, ia langsung mendapati Icad dan Umay yang masih terlelap di depan TV. Hanya beralaskan kasur Palembang tipis.

Membuatnya harus sedikit berhati-hati dalam melangkah. Agar tak sampai menginjak tubuh mereka yang bergelimpangan di lantai.

Ketika sampai di dapur, dilihatnya Mamak dan Kak Fatma sudah sibuk memasak.

"Karina sudah bangun?" sapa Kak Fatma yang sedang mengaduk masakan di atas wajan besar. Meruarkan aroma harum rempah yang gurih dan pastinya lezat itu.

"Mau ke kamar mandi, Kak," jawabnya sambil masuk ke kamar mandi.

Namun setelah berada di dalam, hasrat berhajatnya justru hilang. Meski perutnya masih saja berbunyi 'kruwuk-kruwuk'.

Usai sholat Subuh ia mendekati Mamak dan Kak Fatma yang sedang memasuk-masukkan ayam tangkap ke dalam wadah plastik.

"Banyak pesanan, Mak?" tanyanya sambil memperhatikan barisan wadah yang telah terisi.

"Pesanan Bu guru Sri yang tinggal di ujung gang," jawab Mamak sambil terus memasukkan potongan ayam tangkap ke dalam wadah.

"Katanya buat dijual lagi lewat online," imbuh Kak Fatma. "Sebab banyak rumah yang ditinggal khadimat (pekerja rumah tangga) nya mudik. Jadi tak ada yang memasak. Praktis tinggal beli saja."

"Oh," ia menganggukkan kepala tanda mengerti. Karena tiap lebaran, Mama juga rutin menyetok frozen food dari Selera Persada selama Bi Enok pulang ke Cihideung.

"Aku bantu ya, Kak," tawarnya sungguh-sungguh.

"Sudah mau selesai," tapi justru Mamak yang menjawab. "Karina duduk-duduk saja di depan. Sambil nunggu Nana pulang."

Ia pun melirik jam dinding yang menempel di dinding kayu kusam dapur. Baru jam 05.00 WIB. Sementara Jefan biasanya baru pulang jam delapanan.

"Masih lama, Mak," kernyitnya. "Aku bantu hitung ya Mak."

Mamak menatapnya sejenak sebelum menganggukkan kepala, "Boleh."

Sekitar pukul 07.00 WIB, orang suruhan Bu guru Sri datang untuk mengambil pesanan ayam tangkap. Dan sebanyak 100 box ayam tangkap berhasil dimasukkan semua ke dalam tas kurir motor berwarna hitam.

"Makasih, Mak," orang suruhan bu guru Sri berpamitan.

Tepat ketika perutnya kembali terasa mulas. Namun begitu sudah berada di dalam kamar mandi, rasa mulas berangsur hilang.

"Karina kenapa bolak-balik ke kamar mandi?" tanya Kak Fatma heran.

"Sakit perut, Kak," jawabnya sambil mengusap perutnya yang membuncit.

"Diare?" tanya Kak Fatma lagi dengan nada penuh kekhawatiran.

"Tapi nggak keluar," ia menggelengkan kepala.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang