Part 08. Berdamai

248 48 8
                                    

"What, dia bilang apa, Lucyyana?" pekik Arin tepat setelah Lucy menceritakan kronologi kejadiannya dibentak—lebih tepatnya disewoti—oleh Jeha.

"Gue nggak layak jadi teman dia."

Arin geram mendengarnya. Cewek itu mendecak sebelum membalas kalimat Lucy. "Sombong amat tuh orang. Kalau jadi lo, gue gaplok dia pakai buku yang lo temuin di perpustakaannya."

Lucy menghela napas berat. Cewek itu kembali meletakkan kepalanya ke atas meja. Dia sedang berada di Kafe Fleur. Bukannya membantu si calon kakak ipar, Lucy justru fokus memasang wajah pias sebab mengingat kalimat Jeha. Bohong kalau dia tidak kepikiran. Lucy hampir menangis saat ingat Jeha mengomentarinya dengan sangat pedas.

Kalau Lucy pulang ke kontrakan, bisa dipastikan dia akan menangis karena kontrakan sedang sepi. Namun, cewek itu memilih mampir ke Kafe Fleur. Di sana dia hanya fokus menghela napas sambil menunggu Arin meladeninya. Tepat setelah Arin mulai meladeninya dan Lucy bercerita soal kejadian yang baru dialaminya, Arin malah terlihat lebih marah dibandingkan dirinya.

"Tonjok aja, Lu. Kalau dibaikin yang ada ngelunjak elah. Biarpun lo digaji, dia nggak berhak sejahat itu sama lo. Lama-lama dia mau nandingin Tendrius apa gimana sih, heran gue."

Melihat Arin berkacak pinggang sambil mengomel ketus, Lucy justru terkikik.

"Gue emang kesel dan hampir nangis karena merasa direndahkan, tapi gue nggak mau nunjukin kemaraham gue. Jeha emang nyebelin, tapi kayaknya dia nyesel deh habis ngomong gitu ke gue."

"Jangan diajak ngomong kalau belum minta maaf secara proper. Meski lo yang digituin, gue ikutan sakit hati elah."

Lucy mengangguk. "Niatnya bakal gue diemin sih. Enak aja dia udah ngatain gue nggak minta maaf. Kuliah tinggi-tinggi kalau nggak bisa minta maaf mah percuma."

Arin memandang Lucy dengan ekspresi bangga. "Nah, harusnya lo bilang gitu pas di depan wajah Jeha, pasti dia bakal tambah sewot tuh."

"Nggak ah. Meski gue kesel banget, gue malas berdebat panjang lebar. Gue juga terlanjur dongkol sampai nggak bisa ngeluarin kalimat pembelaan lainnya."

Arin menghela napasnya. "Please, jangan terlalu baik sama orang yang ngerendahin lo. Lo berhak marah kalau mereka jahat sama lo, Lucyyana."

"Gue tahu, Katarina. Tapi beneran deh gue nggak semeledak itu buat nyumpahin Jeha. Kayak, malas aja gituloh soalnya udah terlanjur sakit hati banget."

"Pasti lah. Lagian tuh cowok gegayaan banget pakai perpustakaan rahasia. Sok misterius elah."

"Emang dia misterius tahu, Rin. Jujur, kalau mau berkomentar, lukisan wajah Jane yang dia lukis tuh bagus banget. Kalau dia nggak marah pasti gue bakal tanya banyak hal."

"Dih, ngelukis istri orang kok bagus. Gue jadi lo julid sih. Lagian orang gamon kayak dia kalau belum dihempas oleh realitas belum bisa sembuh."

"Realitas gimana?"

"Ya penegasan kalau Jane emang nggak mau sama dia."

Lucy mengembungkan pipinya. "Kenapa pula elah si Jane Jane itu ogah sama Jeha?"

"Ya karena si Jane cintanya sama Marklen, Lucyyana. Kalau sejak awal Jeha yang dimau cewek itu, Jane pasti akan milih Jeha. Sejak awal, Jeha bukan yang Jane mau."

Lucy terdiam. Apa yang diomongkan Arin benar nyatanya. Sekuat apapun orang itu berusaha, jika bukan tujuan akhirnya, dia akan ditinggalkan begitu saja. Lebih sadisnya, dia tidak akan dianggap sama sekali.

"Dan asal lo tahu, hal kayak gitu nggak pandang bulu."

Lucy mendongak. "Maksud lo siapa aja bakal ngerasain gitu?"

Romantic Sequence | YJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang