"SUMPAH, ya, El, cowok kayak gitu nggak pantes lo tangisin." Celoteh Safira tak habis-habis mengurusi Elina.
"Siapa yang nangis, sih? Gua fine-fine aja tuh."
"Pokoknya kalau lo nangis gara-gara dia gua musuhin lo!" ancam Safira.
Luna melirik Safira malas. "Lebay lo!"
"Ini demi sahabat gua, ya. Gua harus ngibur dia. Iya, kan, El. Lo galau kan? Galau banget pasti, kan?"
Luna mengusap wajah Safira kesal. "Lo nggak ada mata nengok? Elina senang-senang aja putus. El yang putus malah lu yang sewot."
Elina yang menjadi objek pembicaraan mereka memutar bola matanya jengah. Harusnya hari Minggu seperti ini ia tidur-tiduran di kamar bukan malah berujung di kamar Luna yang berujung mendengar celotehan Safira yang tidak masuk akal.
Pagi tadi Safira datang ke rumah menjemputnya menggunakan motor matic andalannya. Elina berusaha menolak yang didapat justru cewek itu menangis nggak jelas di depan Elina dengan alasan ditolak begitu saja.
Jadi... Elina ikut-ikut saja tanpa mandi dan mencuci wajahnya.
Persis, wajah muka bantal, ilernya saja masih menempel di sudut bibir.
"Berenti, deh, kalau cuman ngomong gini mending gua balik lanjut tidur." Ucap Elina ancang-ancang kabur dari kamar Luna
Safira langsung mengunci pintu kamar luna. Menyembunyikan kunci disakunya. Intinya Elina tidak boleh keluar dari kamar.
"No. Lo tetap diem disini!" ucap Safira tegas.
"Gua ngapain disini?" kesal Elina.
"Ya, main atau nggak tidur." Ucap Luna. "Disini lo bebas makan, ada cemilan, minuman apa deh yang lo minta yang penting lo tetap disini. Girls time." Luna menampilkan giginya tertawa.
"Atau nggak main HP mumpung ada wifi."
Ngomong-ngomong tentang HP sampai sekarang Elina belum mengaktifkannya. Hpnya menganggur begitu saja di kamar.
"Gua ninggalin HP."
Safira tertawa tanpa merasa bersalah. "Lo boleh, kok, pakai HP gua." Ucapnya.
"Gua ngajak lo kesini biar nggak kepikiran terus sama Anzars. Baikkan gua?" kata Luna percaya diri.
Elina menunjukkan wajah pasrah lagian mau dirumah atau disini sama saja. Ia tetap memikirkan Anzars. Bohong kalau ia bilang baik-baik saja. Nyatanya tidak, tiap malam atau tiap ada waktu luang maka pikirannya hanya Anzars. Tangannya gatal mengirim chat walau yang di dapat centang satu.
"Lo ceritain dong rasa habis putus cinta itu bagaimana?" Ujar Safira kepo. Maklum ia jomblo dari zigot sampai sekarang, belum pernah merasain namanya jatuh cinta. Padahal ia cantik cuman berisi dikit—apalagi dibagian tertentu.
"Makanya pacaran sana biar tau!" sahut Luna.
"Idih, memang lo pernah pacaran!"
"Pernah, lah!"
"Sama siapa?"
"Sama setan, jomblonya jadi tobat."
"Gak masuk akal lo!" sentak Safira.
"Bagaimana, sih, El rasanya?" tanya Safira lagi mengabaikan Luna.
Elina memikirkan jawabannya, lagian pertanyaan Safira aneh banget. Ada jawaban tapi Elina tidak bisa menyuarakan jawabannya alhasil ia diam saja.
Yang Elina rasakan sejujurnya hidupnya makin sepi, tidak ada kicauan dari Anzars yang mengajaknya keliling, mengucapkan selamat pagi, sudah makan apa belum atau nggak mengirim gombalan maut yang membuat Elina melayang-layang. Tapi Elina tidak ingin mengutarakan ini semua. Biar saja dipendem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzars
Teen Fictionperayaan sweet seventeen Elina seharusnya momen yang sangat membahagiakan namun semua itu sirna ketika Anzars menyudahi hubungan mereka yang terjalin selama 3 tahun. Anzars berharap berakhirnya hubungan mereka membuat Elina membenci dan menjauhinya...