Air Ambulance

17 4 0
                                    

Miller duduk sendirian di rumah yang sunyi di Toronto, Amerika Serikat, dengan tatapan kosong yang menatap  jauh ke dalam televisi yang masih menyala. Senja perlahan merambat masuk melalui jendela, menerangi sebagian besar sisi tubuhnya yang terkena sinar matahari. Di tengah keheningan, pikirannya melayang ke kota Effingham, Surrey, tempat di mana adik-adiknya sedang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Ia membayangkan cafe yang baru saja Albert bangun—bagaimana rasa roti cokelatnya? Ia mengimajinasikan Fransesca yang membangun klinik gigi penduduk kota—bagaimana interior bangunannya? Ia memikirkan Alex yang sudah menjadi anggota organisasi internal sekolahnya—bagaimana Alex bisa menyesuaikan diri dengan kegiatan sosial seperti itu? Dan yang paling membuat tidur malam tak nyenyak, makan tidak berselera, dan hari-hari Miller muram adalah ia selalu memikirkan soal Emma.

Emma, adiknya yang selama ini selalu ia abaikan dan menghadiahinya tekanan.

Perasaan bersalah telah menjadi beban yang berat baginya, merangkulnya erat dan membuatnya merasa tak berdaya. Ia ingin menelepon, tapi tidak bisa. Miller heran dengan dirinya sendiri, sekeras itukah hatinya sampai tidak sampai niat untuk mengatakan kata maaf pada Emma? Gadis itu mungkin memang menunggu penyesalannya, pengakuannya, tetapi sampai dua bulan setelah kejadian itu Miller tetap tidak membuka akses komunikasi apa-apa. Sementara ia sendiri pun sadar bahwa Emma pasti bingung dalam menyikapi sikapnya yang apatis-apakah malu, terlalu merasa bersalah, marah, atau menyalahkan.

Peluh di dahi Miller mengucur lagi, tapi tidak ia singkirkan sampai bulir keringatnya sampai di alisnya yang tebal. Sudah setengah jam dia hanya duduk seperti itu, tegak dan jantungnya berpacu aneh. Ia tengah merasakan sensasi yang luar biasa tak nyaman di dalam tubuhnya. Hatinya terus menyebutkan nama Emma meski kepalanya menolak sedemikian rupa. Albert berkata dengan mudahnya, hubungi Emma, hubungi Emma-tapi hey, bagi pelaku kekerasan itu sendiri, ini tidak terdengar mudah!

Bibi Jade tidak memberikannya terapi perilaku ataupun kognitif yang berlanjut, itu artinya Miller tidak separah itu dalam semrawut emosinya yang tidak kunjung menemukan jalan keluar. Miller sebenarnya masih bisa mengatur tindakannya, bukan karena sakit mental yang membuatnya tidak sadar saat memukuli Emma. Lalu pertanyaannya sekarang, kenapa ia susah sekali untuk meminta maaf padanya?

Padahal, ia ingin sekali meminta maaf pada adik perempuannya itu. Meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya, atas semua kata-kata yang terlontar tanpa dipikirkan, dan atas keputusannya untuk menjauh darinya. Tetapi ada sesuatu yang menghentikannya, sesuatu yang lebih besar dari rasa penyesalan itu sendiri. Ia merasa seperti orang bodoh, yang tidak memiliki pendirian karena sampai harus menelopon Mr. Taylor, orang asing, untuk menjaga Emma.

Tangan Miller gemetar. Jantungnya berdetak-detak secara mengerikan, seperti sedang berlari berkilo-kilo meter jauhnya tanpa pemanasan. Suara berisik dari iklan-iklan di TV membuat telinganya terasa sakit. Semua suara-suara aneh dari dalam kepalanya sendiri memprotes habis-habisan segala tingkah laku yang sudah ia putuskan.

Miller menyambar ponsel di sebelahnya, menggenggam ponselnya erat-erat, menatap layar kosong yang belum pernah begitu menyakitkan. Dia ingin sekali menekan nomor yang sudah hafal di pikirannya, ingin sekali mendengar suara Emma di seberang sana. Namun setiap kali tangannya hampir menekan tombol panggilan, ia teringat akan betapa jauhnya dirinya dengan Emma. Jauh secara fisik dan jauh secara emosional. Hanya ada kenangan buruk di antara mereka, kejatuhan dan amarah yang semakin memuncak.

Miller sudah merasa tidak memiliki siapa-siapa lagi. Meski Albert selalu menghubungi dan menanyakan kesehatannya, Miller teramat tahu bahwa lelaki itu masih menyimpan kekesalan yang dipendam melalui nada bicaranya yang tidak terdengar ramah. Albert selalu memberikan informasi terbaru soal Emma, bagaimana ia berjuang melewati mimpi-mimpi buruknya yang tidak pulih begitu cepat. Rasa bersalah semakin menumpuk dan menumpuk, membuat Miller merasa tak pantas lagi untuk melanjutkan kehidupannya. Toh, kehadirannya hanya menimbulkan masalah bagi keluarganya.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang