Quarantasei

369 17 2
                                    

"Lo serius?!" Suara Aurora meninggi setelah mendengar penjelasan dari Kirania.

Teman satu kantornya itu mengangguk sambil tersenyum. Rora berdiri dengan serampangan. Dia berkacak pinggang dengan wajah marahnya. Kirania justru tertawa melihat tingkah gadis yang sudah dia anggap sebagai sahabat itu.

"Nggak! Lo nggak boleh ambil keputusan itu, Ki. Gue nggak ikhlas! Inget, ya, Ki! Gue nggak ikhlas!" Rora kemudian membuang muka ke arah lain.

"Ini keputusan besar yang gue ambil, Ra. Karena lo udah gue anggap sahabat bahkan saudara gue jadi gue kasih tahu lo. Biar lo nggak kaget kalau nanti siang ada orang baru di sini." Kirania berdiri dan berjalan pergi dari sana.

Rora tidak tinggal diam. Dia mengekor di belakang Kirania sampai gadis itu sampai di lobby gedung. Rora diam saja sampai dia melihat Kirania mengambil paket yang berukuran cukup besar di meja resepsionis. Rora melebarkan mata dan buru-buru melangkah lebar mendekati Kirania.

"Lo beli apa?" Dia memicingkan mata.

"Perlengkapan gue. Kalau gue nggak nyicil dari sekarang, takutnya gue keteteran besok." Kirania membawa paket itu ke arah lift diikuti Rora yang berjalan sambil menatap kotak besar yang dibawa Kirania.

"Sial!" Dia menghentikan langkahnya tanpa aba-aba dan membuat Rora berdecak sebal karena hampir saja menabrak Kirania.

"Lo kalau jalan nggak perlu berhenti mendadak begini, Ki! Hampir aja gu-" ucapan Rora terhenti begitu saja saat di depan mereka sudah ada Cakra dengan pakaian rapi dan juga senyuman lebarnya.

"Hai!" sapa Cakra sambil menatap Kirania.

Rora memutar bola matanya. "Sama-sama gengsinya selangit," selorohnya.

Kirania melirik Rora dengan kesal. Kemudian dia mengulas senyum hangat ke arah Cakra sambil menganggukkan kepalanya. Dia tidak bersuara karena masih bingung dengan kondisi hubungan mereka yang tiba-tiba terasa aneh. Kirania belum terbiasa dengan semua itu.

"Nanti pulang bareng gue, ya? Motor lo dititipin di sini aja," ucap Cakra.

Kirania menggelengkan kepala dengan cepat. "Gu- gue pulang bareng Rora. Iya, kan, Ra?" Kirania menyenggol lengan Rora yang tetap berdiri sambil mengamati interaksi antara Kirania dan Cakra.

"Enggak! Gue mau langsung ke rumah Tante gu- aduh!" Rora membungkuk dan segera mengusap kaki bagian belakang miliknya yang baru saja ditendang Kirania. "Kirania setan!" umpatnya kesal.

"Pulang bareng gue. Nanti gue tunggu di parkiran. Gue pergi dulu." Cakra mengusap kepala Kirania sekilas dan pergi meninggalkan dua gadis itu.

Rora menegakkan tubuhnya dengan mata melotot setelah melihat kejadian yang membuatnya kaget pagi itu. "Lo pacaran sama dia?" tanyanya secara spontan.

Kirania menelan ludah pelan dan buru-buru melanjutkan langkahnya. "Nggak!" jawabnya singkat dan tegas.

Rora belum ingin menyerah. "Bohong!" Dia masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka ketika mereka berdua sampai di depannya. "Kalau nggak pacaran, kenapa dia aneh begitu?" Rora menatap Kirania secara terang-terangan.

"Diem lo!" Kirania menggerakkan bibir tanpa bersuara.

Matanya melirik ke samping kiri kemudian dia memberikan tatapan tajamnya. Rora kemudian langsung tersadar. Dia menatap ke sekeliling mereka. Ada beberapa orang yang sedang berdiri di dalam lift itu selain mereka. Rora buru-buru melipat bibirnya ke dalam dan berdiri di samping Kirania tanpa mengganggu gadis itu lagi.

Kirania menghela napas pendek. "Nanti sore, gue pulang bareng lo."

"Gue mau pergi, Ki." Rora menatap bingung ke arah Kirania.

"Okay! Gue pulang sendiri kalau gi-"

"Sama gue aja!" sahut Rora cepat.

Kirania melirik Rora dengan wajah datarnya. Mereka berdua keluar dari lift dan tidak ada lagi yang membicarakan masalah sikap Cakra terhadap Kirania.

Namun, bukan Rora jika sampai dia tidak bisa mendapatkan informasi penting tentang Kirania dan juga pria yang disebut sebagai teman baik atau sahabat oleh gadis tersebut. Dia memakai kacamata hitamnya dan siap mengemudikan mobil berwarna merah miliknya.

"Ekhem!" Dia melirik Kirania yang kini memandang ke arah luar jendela. "Lo harus cerita di sepanjang perjalanan menuju ke kos lo," ucap Rora tegas.

Kirania menoleh. "Apa, sih? Gue nggak ada apa-apa sama Cakra!" Dia membantah.

"Bohong!" sahut Rora cepat.

Kirania menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memejamkan mata dengan bibir melengkung ke bawa. Tiba-tiba saja rasa malu itu kembali hadir. Dia membuang napas panjang dan menatap ujung jemari tangannya.

"Gue nyium Cakra," ucapnya pelan.

"Hah?!" Rora melotot. "Lo nggak lagi bercanda, kan?" tanyanya dengan rasa penasaran yang semakin tinggi.

Kirania mengangguk. "Gue bingung sama apa yang gue lakuin waktu itu. Gue suka banget sama Cakra dan gue malu karena menjatuhkan harga diri gue di depan dia. Harusnya gue nggak ke apartemen dia, Ra. Gue harus apa?" Dia mengusap matanya yang mulai basah.

Rora diam sejenak sambil mencerna penjelasan Kirania. Dia mengusap tengkuknya sendiri dan ingin mengumpat di depan Kirania karena kebodohannya. Tapi dia menahan diri karena mendengar isakan yang keluar dari bibir Kirania.

"Nggak usah nangis! Kayak anak kecil lo!" Rora menghela napas dalam karena Kirania hanya menunduk dan tak membalas ucapannya. "Udah, Ki. Udah terjadi dan lo nggak perlu malu lagi. Dijadiin pelajaran aja. Kalau gue lihat interaksi kalian berdua, kayaknya Cakra suka sama lo."

Kirania kembali mengusap matanya. "Dia bilang mau mutusin Jelita, Ra."

Rora mengangguk. "Dia harus memilih antara lo atau Jelita. Dia nggak bisa memiliki kalian berdua. Tapi, Ki..." Rora menatap jalanan di depannya. "Apa lo sampai hati lihat Cakra mutusin Jelita demi lo?"

Kirania diam saja. Rora melirik gadis di sampingnya sekilas dan membiarkan Kirania dengan pikirannya sendiri. Tak ada pembicaraan lagi di antara mereka berdua sampai suara ponsel Kirania terdengar di dalam mobil itu.

"Siapa?" tanya Rora.

Kirania menatap nama di layar ponselnya dengan perasaan ragu. "Cakra," jawabnya.

"Angkat, Ki!" Rora berhenti saat lampu merah di depan mereka menyala.

"Halo?" Kirania menatap ke arah jendela di sampingnya.

"Lo di mana? Gue di parkiran dari tadi. Lo udah selesai, kan?"

"Gue pulang sama Rora, Ca." Kirania menoleh ke arah teman satu kantornya itu.

"Gue udah bilang, lo pulang sama gue. Kenapa jadi gini, sih? Gue udah nunggu lo dari tadi, Ki!" suara Cakra terdengar marah.

Kirania menelan ludah pelan. Dia bisa mengerti kenapa Cakra berkata demikian. Gadis itu hanya bisa berkata maaf dan sambungan telepon mereka berakhir tepat ketika mobil Rora berhenti di depan kos Kirania.

"Dia marah, ya?" tanya Rora.

"Jelas!" jawab Kirania sambil melepas sabuk pengamannya.

Rora menggelengkan kepala. "Gue heran sama lo berdua. Kalau kalian memang saling suka, kenapa kalian malah pacaran sama orang lain? Sekarang ribet, kan?" Gadis itu menatap Kirania yang hanya memajukan bibirnya.

"Gue mengakui perasaan gue. Gue sadar suka sama Cakra. Tapi dari awal lo tahu sendiri kalau dia kayaknya suka banget sama Jelita." Kirania tidak terima jika dia disalahkan.

"Terserah kalian aja! Gue pusing sama hubungan aneh kalian ini sedari awal." Rora berdecak sebal.

Kirania kemudian turun dari mobil Rora setelah percakapan itu. Dia berjalan menuju ke kamar kosnya dengan pikiran yang masih tertuju pada sosok Cakra. Ada rasa bersalah karena membiarkan Cakra menunggu dirinya. Di sisi lain, dia harus tega melakukannya.

"Gue nggak mau hubungan kalian hancur karena gue, Ca. Gue nggak mau jadi cewek jahat."

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang